Budaya Konsumerisme di Kampung Ramadhan

  • Bagikan

Oleh : Risnawati, STP

(Staf Dinas Pertanian & Aktivis MHTI Kolaka)

 

Tidak terasa, kita sudah berada dalam bulan Ramadhan yang berkah ini. Bagi seorang muslim yang beriman, Ramadhan adalah momentum paling berharga yang sangat dinanti kedatangannya. Ramadhan selalu menjadi idola spiritual yang menggugahkan kerinduan ruang imani dan menyejukkan rasa haus dan dahaga hamba untuk beribadah dan mendekat (taqarrub) kepada sang Khalik secara sempurna.

 

Aroma kesucian Ramadhan begitu harum dan menyegarkan lamunan alam sadar orang-orang yang beriman, maka tidak heran doa di tengah keharuan dan gulana hati selalu terucap setiap masa dalam ingatan, “Allahumma bariklana fi rajaba wasya’ban wabalighna Ila Ramadhan”. Air mata pun sedetik menetes di tengah kegalauan jiwa di saat bertemu bulan ini. Dan ketika ramadhan tiba, geliat dan semangat ke-Islaman semakin mencapai klimaksnya semua larut dalam kekhusu’an beribadah kepada Allah SWT.

 

Kegiatan Islami dimana-mana bergaung, pesantren kilat, tablig akbar ramadhan, shalat tarawih, tadarus al-qur’an menjajakan aura ilmu yang tiada tara nikmatnya. Entitas ibadah hamba yang tiada hentinya selama satu bulan penuh dibulan yang penuh berkah.

 

Namun, mari sejenak kita jalan-jalan ke dunia lain di kampung Ramadhan nan mulia ini. Sekejap kita teropong dengan kacamata tauhid imani kita tentang sebuah fenomena yang sebenarnya sangat berlawanan dengah nilai-nilai keislaman kita. Berpuasa di jaman saat ini bukan sekadar menahan rasa lapar dan haus di siang hari. Sebab, bagi sebagian besar godaan menahan rasa lapar dan haus di siang hari bukan termasuk dalam katagori ‘godaan jenis berat’ yang bisa membatalkan ibadah puasa. Namun tanpa kita sadari godaan terasa lebih dasyat adalah serangan budaya konsumerisme?

 

Menjalankan ibadah puasa di negara kapitalis seperti Indonesia ini ternyata membawa kesulitan tersendiri. Setidaknya hal ini terlihat dari pola konsumsi dan belanja selama Ramadhan. Meski harga barang-barang cenderung naik, tingkat konsumsi dan intensitas berbelanja ternyata tidak turun bahkan cenderung naik.  Tak hanya itu, kapitalisme yang dihiasi oleh sikap hidup mewah, berlebihan, mengutamakan kepentingan duniawi (materi) hingga hedonisme telah turut merusak suasana ibadah Ramadhan.

 

Kecenderungan berlebihan baik pada pengaturan menu makanan untuk berbuka puasa hingga kebiasaan memborong berbagai bahan makanan karena khawatir kehabisan dan harga yang melejit; adalah bagian dari sikap konsumtif yang tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang membelit. 

 

Menurut sejumlah cendekiawan, budaya konsumerisme yang mewabah saat ini tidak terlepas dari perkembangan budaya kapitalisme yang menempatkan konsumsi sebagai titik sentral kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat. Masyarakat seakan-akan berlomba untuk menjadi manusia konsumtif.

 

Masyarakat pun selalu diposisikan sebagai konsumen potensial untuk meraup keuntungan bisnis. Perkembangan kapitalisme global membuat, bahkan memaksa masyarakat pada suatu kondisi dimana seolah-olah ‘hasrat’ mengkonsumsi lebih diutamakan.

 

Perilaku masyarakat ini tidak terlepas dari peran media massa. Iklan-iklan televisi, radio, media cetak termasuk iklan outdoor seakan-akan menghipnotis kita untuk masuk dan menjadi manusia konsumtif, lebih-lebih pembangunan fasilitas pembelanjaan diseluruh kota bertujuan untuk  memanjakan masyarakat untuk berbelanja.

 

Seperti yang terlihat dalam hingar bingar pasar, mall, toko-toko, hingga tayangan media yang menarik keinginan untuk membeli terkait tayangan-tayangan iklan beraneka ragam guna menawarkan sebuah produk yang diproduksi, mulai sandang, pangan, hingga kartu telepon seluler sekalipun, termasuk hiburan seperti sinetron, musik,  dan humor. Itu tidak lepas dari dukungan sponsor. Melalui iklan di media cetak maupun elektronik berbagai komoditas yang diproduksi dan dilempar ke ranah pasar.

 

Sehingga beragama budaya konsumtif ini telah mengalahkan keheningan suasana ibadah yang seharusnya dibangun.  Terlebih menjelang idul fitri nanti, pembicaraan seputar THR, baju baru, mobil baru, sofa baru, dan segala yang dianggap perlu baru atas nama momentum silaturahmi; telah menjadikan Ramadhan, bulan yang seharusnya berhias khusyu’ dalam beribadah, menjadi masa riuh rendahnya berbelanja. 

 

Sungguh menyedihkan, bulan mulia ini dicederai oleh sikap konsumtif binaan sistem kapitalis. Kenyataan ini tentu bertentangan dengan Syariah Islam yang menganjurkan bersikap sederhana dan tidak berlebihan dalam mengkonsumsi barang-barang kapan pun, apalagi di bulan penuh berkah ini. Allah SWT melarang bersikap berlebih-lebihan dalam harta: “… dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.  Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (TQS. Al Isra [17]:26-27).

 

Ibadah puasa, jika dipahami dan dilaksanakan dengan benar, akan menghasilkan pribadi yang bertakwa.  Artinya, di bulan Ramadhan ini seharusnya perilaku konsumtif dapat dihindari. Sebab, manifestasi dari takwa adalah tidak mengumbar hawa nafsu, mampu mengendalikan semua keinginan, termasuk keinginan berbelanja yang tidak perlu (berlebihan).

 

Nafsu manusia memang seperti air. Tidak pernah terhenti untuk selalu mengalir. Namun bukan berarti kita tidak bisa menahannya. Ada baiknya kita mendengarkan kisah Khalifah Umar bin Khathab. Suatu ketika Umar pernah menghukum Amru bin Ash, sang gubernur Mesir kala itu yang berbuat semena-mena terhadap seorang rakyatnya yang miskin.

 

Seorang gubernur yang bertugas di Hamash, Abdullah bin Qathin pernah dilucuti pakaiannya oleh Umar. Sang khalifah menyuruh menggantinya dengan baju gembala. Bukan itu saja, si gubernur diminta menjadi penggembala domba sebenarnya untuk beberapa saat. Hal itu dilakukan Umar karena sang gubernur membangun rumah mewah buat dirinya. “Aku tidak pernah menyuruhmu membangun rumah mewah!” ucap Umar begitu tegas.

 

Dari kisah ini memberi pelajaran bahwa seorang pemimpin itu tentunya agar berpola hidup sederhana dan sesungguhnya dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW pernah bertutur,  “Berhentilah kamu makan sebelum kenyang.” Artinya pola hidup konsumtif yang berlebihan tidak sesuai dengan ajaran Islam.

 

Oleh karena itu, selayaknya kita mengevaluasi diri sejauh mana keberhasilan pelaksanaan ibadah puasa.  Mampukah ia menjadi sarana pembentukan pribadi yang mampu mengekang hawa nafsu, mampu menghindari dari sikap konsumtif, dan bertahan dari segala gempuran kapitalisme. 

 

Semoga Ramadhan tahun ini memberi pelajaran berharga bagi hidup kita; agar kita bersikap sederhana, tidak berlebihan, membelanjakan harta sesuai ketentuan Syariah, tidak berlebihan, tapi tidak pula pelit.  Ramadhan juga menyadarkan kita tentang pentingnya mengubah sistem kehidupan masyarakat yang kapitalistik menjadi sistem kehidupan Islam.  Karena hanya dalam sistem ini, kita dapat melakukan ibadah di bulan mulia ini dengan penuh kekhusyu’an.  Semoga kita semua dapat berkontribusi di dalamnya. Wallahu a’lam.(*)

 

  • Bagikan