Kabaenaku Sayang, Kabaenaku yang Malang, Kabaena Sarang Penampakan

  • Bagikan

Oleh: Muhammad Karunia Djafar, ST

(Prabu Kane Al’halaj)*

Ketika kita berbicara tentang Kabaena, maka yang terbesit dalam benak seluruh masyarakat Sulawesi Tenggara tentang pulau ini adalah pulau yang eksotis, kaya, dan sarang penampakan makhluk jadi-jadian. Mengapa? pulau/daerah yang memiliki arti dan makna yang begitu dalam serta punya riwayat catatan sejarah di masa lalu sebagai penghasil beras (Kobaena), yang memberi makan hampir sebagian masyarakat Kesultanan Buton saat itu, kini hampir dipastikan puing-puing sejarah itu tinggal kenangan, yang mungkin pula hanya cerita pengantar tidur sebagian masyarakat Tokotu’a.

Tanah Kabaena yang belakangan ini menjadi senteran dan diskusi hangat di kalangan elit politik regional, bahkan nasional, serta menjadi incaran para investor asing karena hasil bumi yang kaya dan melimpah ruah, tidak bisa kita nafikkan bahwa ini merupakan buah karya nyata dari para leluhur Tokotu’a terdahulu (miano tokotu’a periouno), yang hari ini tidak pernah disadari oleh generasi muda, bahkan kalangan tua.

Seandainya mereka para generasi hari ini sadar, mestinya mereka mampu berfikir secara matang, sudahkah kekayaan alam Kabaena mensejahterakan masyarakat Tokotu’a sebagai pemilik sah tanah ini secara de facto dan de jure? Sudahkan kekayaan alam Kabaena dikelola secara baik dan tentunya berdampak baik bagi masyarakat Tokotu’a? Kalau memang benar itu adanya mengapa masih banyak penampakan nenek nenek tua yang pergi berjalan kaki sampai puluhan kilometer hanya untuk mencari kayu bakar untuk menanak nasi dan memasak air panas untuk mempertahankan hidupnya? Mungkinkah nenek – nenek itu dianggap makhluk astral jadi-jadian yang menghuni gunung Tangkeno atau daerah antara Lamonggi dan Tedubara? Saya rasa ini merupakan persepsi yang keliru dan kurang adil dengan fenomena sosial Kabaena hari ini yang diserobot oleh puluhan perusahaan tambang. 

Lantas, ketika fenomena ini benar-benar terjadi adakah terpatri dalam jiwa masyarakat Tokotu’a hari ini bahwa keadilan mesti ditegakkan seadil-adilnya di tanah yang kaya ini? Saya rasa tidak ada yang berfikir seperti itu, karena mungkin inilah zona nyaman buat kehidupan mereka. Mereka mungkin merasa nyaman dengan penampakan seperti ini, merasa bahagia dengan penyerobotan lahan warisan para leluhur, merasa berterima kasih kepada para investor yang membeli tanah mereka dengan harga yang murah.

Kalau memang mereka merasa seperti itu, satu pertanyaan yang kemudian timbul dibenak saya, apakah mereka menganggap bahwa tidak ada campur tangan dari leluhur terdahulu (miano tokotu’a periouno), munculnya kekayaan alam yang timbul dari tanah Kabaena? Kalau seperti itu, maka bagi saya sudahlah kita bercerita tentang kejayaan di masa lalu, biarkan itu menjadi cerita penghantar tidur generasi ke depan.

Beberapa kali pergantian pemimpin di Wonua Bombana selalu menampilkan penampakan seperti ini dan tidak pernah diketahui secara pasti di mana letak benang merahnya, mengapa kabaena tidak pernah maju dan berdikari secara ekonomi, politik, dan budaya. Antara eksekutif dan legislatif selalu saling melempar tanggung jawab, tidak ada sinergitas yang baik sehingga pembangunan infrastruktur khususnya di Pulau Kabaena bisa berjalan mulus seperti daerah lain yang ada di Sulawesi Tenggara.

Sebagai satu contoh, aliran listrik yang ada di pulau eksotis ini masyarakat hanya mengandalkan tenaga surya,  dan mereka hanya mampu menikmati listrik sebatas 12 jam saja.

Oh.. Kabaenaku sayang… Kabaenaku yang malang… sungguh malang nasibmu…

Engkau hanya jadi pelampiasan para pemangku kepentingan yang bertirai birahi tanpa berbingkai nurani.

Seandainya engkau Kabaena seumpama wanita, engkau hanyalah tempat pelampiasan orang-orang yang berhasrat, habis manis sepah dibuang.

Engkau selalu tersandra oleh orang-orang bejat.

SADARLAH!!

BANGKITLAH!!

Jangan jadi budak dinegeri sendiri!!!

Dan buat pemimpin Bombana, jangan karena kebencianmu pada salah satu kaum, hingga menjadikanmu tidak berlaku adil.

*)Penulis merupakan Ketua Dewan Penyantun Kabinet Pengkaruta Sultra, juga merupakan Ketua Forum Pemuda Pemerhati Keadilan (FPPK) Sultra.

  • Bagikan