Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

  • Bagikan
Oleh Fitri Suryani, S.Pd (Guru SMA Negeri di Kabupaten Konawe).Foto:ist

Peringatan hari guru bulan lalu telah usai. Hal itu setiap tahunnya tak luput untuk diselenggarakan, tapi sayang nasib guru belum menunjukkan titik terang. Khususnya bagi mereka yang masih menyandang status guru non PNS.

Sebagaimana presiden Joko Widodo atau Jokowi turut memberikan ucapan selamat hari guru kepada seluruh guru di Indonesia. Menurut dia, guru adalah pembakit inspirasi dan sumber ilmu bagi generasi penerus bangsa. Sementara, ketika disinggung mengenai nasib para guru honorer, Jokowi mengatakan bahwa pemerintah telah menyiapkan skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) (Liputan6.com, 25/11/ 2018).

Namun, Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih mengatakan, pembatasan umur yang diberlakukan pemerintah dalam merekrut guru honorer menjadi PNS adalah kebijakan yang tidak adil. Sebab, guru yang sudah mengabdi sejak lama justru tidak mempunyai peluang untuk menjadi pegawai negeri sipil.  (Kompas.com, 25/11/2018).

Sementara itu, Hari Guru Nasional (HGN) diperingati setiap pada tanggal 25 November. Pada tahun ini HGN mengangkat tema “Meningkatkan Profesionalisme Guru Menuju Pendidikan Abad 21”. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menyampaikan Kemendikbud akan menggelar puncak peringatan hari guru nasional pada 1 Desember 2018 mendatang di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Jawa Barat dan rencananya akan dihadiri langsung Presiden RI Joko Widodo. (Kompas.com, 25/11/2018)

Guru Riwayatmu Sungguh Kasian

Peringatan hari guru tentu sangat diapresiasi, guna mengingatkan kita semua betapa mulianya jasa-jasa mereka dalam mencerdaskan anak bangsa. Karena sangat besarnya peran mereka bagi bangsa sehingga sering dijuluki pahlawan tanpa tanda jasa.

Sayangnya fakta kadang berbicara lain. Bagaimana tidak, tak jarang kita dapati para guru yang mendapatkan perlakuan tidak enak, bahkan mesti berurusan dengan pihak hukum karena sikap murid yang durhaka. Ditambah lagi sikap orang tua siswa yang bertindak sewenang-wenang kepada guru yang telah mendidik anak mereka.

Faktu itu tentu belum seberapa. Jika menengok ke sisi lain, seperti kesejahteraan tentu masih jauh dari kata layak. Khususnya bagi mereka yang masih berstatus guru non PNS. Karena tak jarang kita temukan mereka memiliki profesi ganda. Tak hanya sekedar sebagai guru di sekolah, tetapi diantara mereka ada juga yang menggeluti profesi tambahan. Seperti menjadi tukang ojek, berdagang dan apa saja yang dapat menambah pundi-pundi rupiah. Alasannya satu, karena gaji yang mereka dapatkan tak dapat mencukupi kebutuhan yang setiap hari harus dipenuhi.

Tak hanya sampai di situ, untuk memperjuangkan nasib mereka, tak jarang mereka melakukan aksi agar aspirasi mereka dapat didengar. Harapannya tak lain yakni mendapatkan kesejahteraan yang sama sebagaimana guru PNS. Karena tak sedikit dari sekian banyak guru non PNS telah lama mengabdikan diri dan beban kerja pun sama dengan mereka yang berstatus guru PNS. Tetapi sayang beribu sayang, hak mereka untuk mendapatkan kesejahteraan tidaklah sama.

Tentu berbagai persoalan tentang guru sudah ada dari dulu hingga kini, tetapi pemecahannya pun tak kunjung menyelesaikan masalah. Hal ini menjadi tanda tanya besar. Apakah keluh kesah mereka benar-benar didengarkan dan diperhatiakan? Apakah para pembuat kebijakan berniat sungguh-sungguh untuk menuntaskan masalah yang mendera para guru tersebut?

Lebih dari itu, tentu ini merupakan bagian dari wajah sistem kapitalisme. Bagaimana apresiasi rezim sekuler terhadap guru tak sebanding dengan jasa mereka dalam mendidik generasi bangsa. Apresiasi itu pun hanya sebatas janji dan basa-basi. Realitas kebijakan terkait guru sangat zalim dan menyulitkan mereka dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai pendidik generasi.

Profesi Guru Dalam Pandangan Islam

Pendidikan dalam pandangan Islam merupakan perkara yang tak kalah penting dengan perkara lainnya. Salah satunya yang berkaitan dengan para pendidik. Dimana mereka diharapakan mampu mencetak generasi yang tak hanya cerdas dari sisi IPTEK, namun juga keterikatan kepada aturan sang pencipta. Tentu untuk mewujudkan hal itu  perlu adanya dukungan dari pihak yang membuat kebijakan, diantaranya  tentang kesejahteraan para pengajar.

Gambaran tentang kesejahteraan para guru dapat kita baca pada sejarah bagaimana pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, terdapat kebijakan pemberian gaji kepada para pengajar Al-Qur’an masing-masing sebesar 15 dinar, di mana satu dinar pada saat itu sama dengan 4,25 gram emas. Jika satu gram emas Rp. 500.000 saja dalam satu dinar berarti setara dengan Rp 2.125.000,00. Dengan kata lain, gaji seorang guru mengaji adalah 15 dinar dikali Rp 2.125.000, yaitu sebesar Rp 31.875.000.

Adapun yang berkenaan dengan pembiayaan pendidikan dalam khilafah sepenuhnya oleh negara (Baitul Maal). Pos kepemilikan umum seperti tambang, hutan, minyak dan gas, serta laut. Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk dua kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang berhubungan dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku pegangan, dan sebagainya.

Sementara itu, sekolah penanggung jawabnya secara langsung oleh negara sendiri atau dibangun dan didanai oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang kaya di dalam komunitas yang berbagi tanggung jawab untuk mendidik generasi yang nantinya sebagai estafet peradaban.

Dengan demikian, pandangan Islam terhadap pendidikan dan para pendidik bertolak belakang dengan aturan yang sangat menyulitkan tenaga pendidik saat ini, khususnya persoalan kesejahteraan mereka. Islam menjadikan pendidikan sebagai pilar peradaban mulia dan menempatkan para guru sebagai salah satu arsiteknya. Hal itu nampak dari perhatian sistem Islam terhadap pendidikan dan jaminan kesejahteraan kepada para pengajar. Olehnya itu untuk mewujudkan hal tersebut, tiada lain selain kembali pada aturan yang maha baik yakni aturan yang bersumber dari-Nya dan diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, yang terbukti telah mensejahterakan para pendidik. Wallahu ‘alam bi ash-shawab.

Oleh: Fitri Suryani, S.Pd (Guru SMA Negeri di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara)

  • Bagikan