Perempuan Dalam Perspektif Demokrasi dan Kepemiluan

  • Bagikan
Siti Nur Aisyah, S.TP., M.P.W.K

Oleh: Siti Nur Aisyah, S.TP., M.P.W.K

Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi dalam penyelenggaran pemerintahan. Landasan yuridisnya adalah diatur pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Implementasi dari demokrasi tersebut sebagai manifestasi dari kedaulatan rakyat dalam penentuan jalannya pemerintahan adalah melalui pemilihan umum, disingkat dengan Pemilu.

Demokrasi di Indonesia cukup beragam pengertiannya, tetapi kalimat kuncinya adalah demokrasi sebagai bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Redaksi “memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka” ini menjadi basis atau dasar dari pelaksanaan dari pemilihan umum.
 
Arti demokrasi di Indonesia yang dijalankan selama ini, berkesesuaian dengan teori dasar dari demokrasi itu sendiri. Kata demokrasi pertama kali diucapkan oleh orang Yunani (bukan negara Yunani saat ini) dari kata ‘Demos’ dan ‘Kratos’ yang memiliki arti kekuasaan, bisa pula bermakna kedaulatan rakyat. Pemilu di Indonesia berarti pelaksanaan kekuasaan rakyat yang berdaulat dalam pengambilan keputusan untuk menentukan nasib mereka dan negara secara general. Pelaksanaan dilaksanakan lima tahun sekali, baik dari fungsi kekuasaan eksekutif (Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota) maupun legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat).

Sama halnya dengan laki-laki, seorang perempuan juga mempunyai hak yang sama dalam demokrasi dan ikut serta dalam pemerintahan termasuk penyelenggaran kepemiluan. Dikutip dari Fathurrosi (2018), setidaknya ada tiga poin yang menjadi hak perempuan dalam politik, Pertama adalah hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan ikut serta dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan. Kedua, hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan berkala yang bebas untuk menentukan wakil rakyat di pemerintahan. Ketiga, hak untuk ambil bagian dalam organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah dan himpunan-himpunan yang berkaitan dengan kehidupan pemerintah dan politik negara tersebu.

Penegasan hak-hak perempuan dalam kaitanya dengan demokrasi dan kepemiluan di Indonesia juga sebagai komoitmen sebagai anggoa PBB yakni melaksanakan kesepakatan dunia konvensi hak-hak politik perempuan (Convention on the Political Rigths of Women) tahun 1953. Ketentuan dalam kovensi PBB tentang ha-hak politik perempua dimaksud dijelaskan kedalam tiga poin besar, Pertama adalah perempuan berhak untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki, tanpa deskriminasi. Kedua, perempuan berhak untuk dipilih bagi semua badan yang dipilih secara umum, diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama denga laki-laki tanpa ada deskrimionasi. Ketiga, perempuan berhak untuk memegang jabatan publik dan menjalankan semua fungsi publik di atur oleh hukum dengan syarat-syarat yang smaa dengan laki-laki tanpa ada diskriminasi.

Salah satu instrument yang digunakan dalam mengimplementasikan hak-hak perempuan di atas diatur melalu skama keterwakilan perempuan dalam komposisi penyelenggaran Pemilu sebesar 30% sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No, 10 Tahun 2008.  Namun demikian, instrument ini belum cukup sebab ada kekurang tegasan komposisi keterwakilan tersebut khususnya dalam penyelenggaran pemerintahan dan penyelenggaran (Lembaga) kepemilian.

Urgensi Perempuan dalam Kepemiluan

Benar bahwa hak-hak politik perempuan telah terakomodir sebagai mana disebutkan UU No. 10 Tahun 208, hanya saja bagi penulisan hal tersebut tidaklah cukup. Mesti ada penegasan lebih konkrit agar setiap penyelenggaran pemerintahan termasuk penyelenggaran Pemilu. Mengapa penting, jika kita merujuk dari jumlah penduduk indonesia saat ini yang dikelurkan oleh Kominfo bahwa ada sekitar 133,54 juta orang penduduk adalah perempuan. Artinya ada 49,42% dari total penduduk (dengan Laki-Laki).  Fakta berikut bahwa data yang dirilis oleh BPS Nasional tahun 2021 setidaknya ada 49,99% perempuan sebagai pekerja professional. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya diangka 48,76% dan tahun 2011 diangka 45,75%.  Kemudian fakta lain yang cukup mencenangkan adalah ada 15% perempuan menjadi kepala rumah tangga (single parent) dengan berbagai latar belakang penyebab. Hanya saja terjadi penurunan selama tahun 2022 menjadi 12,72%, tetapi poin adalah perempuan sebagai kepala rumah tangga yang harus bekerja memenuhi kebutuhan keluarga.

Bila berangkat dari fakta empris di atas, bagi penulis komposisi keterwakilan perempuan tidak hanya sebatas pada penyusunan komposisi peserta pemilu (calon anggota legislatif), melainkan juga pada lembaga lain. Misalkan dalam penyusunan komposisi Lembaga Negara mesti ada keterwakilan perempuan lebih dari 30% dengan standar fakta data kompoisis perempuan terhadap jumlah penduduk indonesia.

Memang benar, tidak ada jaminan bahwa perempuan mampu mewakili suara dan nasib perempuan, tetapi menjadi catatan adalah Negara adalah mengatur hajat hidup orang banyak, setidaknya perempuan memiliki kesamaan nurani secara lahiria sehingga dapat diinternalisasi pada setiap sikap dan tindakan atas nama negara, tak terkeculi dalam menyelenggaran pemilihan umum (Pemilu).

Mari kita mulai Pemilu 2024 sebagai momentum kebangkitan perempuan sebagai mana semangat yang diwariskan oleh RA Kartini. Perempuan sebagai bagian lokomotif pembangunan, tidak saja mengantarkan pada pintu gerbang kemerdekaan, tetapi marihlah kita masuk dalam era baru yakni memajukan kesejahteraan umum, negara kuat dan Maju yang berkelanjutan. ***

(Penulis adalah Bendahara Umum Forum Bela Negara DPW Sultra)

  • Bagikan