Oleh: Burit Retnowati, SST
(Statistisi Ahli Muda BPS Provinsi Sulawesi Tenggara)
SULTRAKINI.COM: Juni 2022, Kendari mencapai rekor deflasi sebesar 0,61 persen, bulan berikutnya Juli 2022 rekor inflasi sebesar 2,27 persen. Tak tanggung-tanggung bukan rekor se Sulampua tetapi rekor secara nasional diantara 90 kota IHK.
Rekor deflasi Juni 2022 diantaranya disumbang oleh kelompok pengeluaran makanan, minuman dan tembakau serta angkutan udara. Pengaruh terbesar karena beberapa jenis ikan mengalami penurunan harga, begitu juga angkutan udara. Sedang yang menahan deflasi lebih dalam antara lain bawang merah, cabai rawit, telur ayam ras dan minyak goreng.
Ketika meraih rekor inflasi di Juli 2022 penyumbang nya antara lain kelompok pengeluaran transportasi, pendidikan, makanan,minuman dan tembakau serta perumahan, listrik dan bahan bakar rumah tangga. Kenaikan harga di Juli tertinggi terjadi pada bawang merah, pendidikan taman kanak-kanak, sekolah dasar dan angkutan udara. Selain barang-barang tersebut ikan dan sayur yang terpengaruh musin pun kerap memberikan pengaruh inflasi ataupun deflasi.
Tahun 2022 ini termasuk tahun fenomenal. Hal itu dapat dilihat pada akhir tahun 2021 lalu, kenaikan harga telur ayam ras yang bombastis bahkan terjadi kelangkaan di pasaran sempat membuat masyarakat yang menjadikan telur sebagai menu utama dalam kesehariannya harus mensubstitusinya dengan lauk lain. Perubahan harga telur ayam ras di Desember 2021 mencapai 2,22 persen. Hal ini masih berlanjut di awal 2022 hingga mencapai perubahan harga 11,56 persen.
Ketika harga telur mulai merangkak stabil meskipun belum normal, tiba-tiba minyak goreng harganya meroket bahkan hilang dipasaran. Beberapa merk yang sudah dikenal masyarakat menghilang berganti dengan munculnya merk-merk baru yang sebelumnya tidak pernah kita dengar. Bahkan imbas kenaikan dan kelangkaan minyak goreng ini sempat membuat beberapa pelaku usaha kuliner di Kendari gulung tikar, sebagian masih bertahan sambil mencari strategi baru untuk bangkit kembali dari keterpurukan usaha.
Bagi sebagian kelompok orang atau pelaku usaha, inflasi mempunyai arti penting, bahkan mempengaruhi kehidupan mereka. Lihat saja ibu rumah tangga ketika terjadi kenaikan harga ikan dan sayur, akan mencari cara untuk mencukupkan kondisi keuangan mereka dengan kebutuhan rumah tangga. Pelaku usaha akan memberi perhatian terhadap inflasi untuk menentukan upah tenaga kerjanya dan terkait pula suku bunga yang dikeluakan Bank Indonesia.
Mungkin sebagian orang tidak mengenal istilah inflasi, tetapi ketika mendengar perubahan harga baik naik dan turun mereka akan paham. Sederhananya, inflasi adalah perubahan harga yang terjadi pada sekelompok komoditas yang sama dan dipantau secara rutin dibandingkan dengan harga bulan sebelumnya. Sedang menurut Boediono, pengertian inflasi adalah suatu kecenderungan mengenai harga-harga agar naik secara umum dan secara terus-menerus.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai penyedia data statistik resmi sesuai Undang-undang Nomor 16 tahun 1997, inflasi merupakan persentase kenaikan harga sejumlah barang dan jasa yang secara umum dikonsumsi rumah tangga. Ada barang yang harganya naik dan ada yang tetap. Namun, tidak jarang ada barang/jasa yang harganya justru turun. Hitungan perubahan harga tersebut tercakup dalam suatu indeks harga yang dikenal dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI). Persentase kenaikan IHK dikenal dengan inflasi, sedangkan penurunannya disebut deflasi.
Kestabilan harga dari bulan ke bulan lebih tepatnya yang akan berpengaruh terhadap kondisi inflasi suatu daerah. Itulah mengapa pemerintah berusaha untuk menstabilkan harga ketika terjadi kenaikan harga pada sekompok barang yang dikonsumsi masyarakat. Ketika harga bahan makanan naik, maka pemerintah akan berupaya melakukan operasi pasar dan mengadakan pasar murah. Upaya ini diantaranya untuk menekan fluktuasi harga yang akan mendorong ketidakstabilan harga dan menyebabkan inflasi.
Inflasi bisa berdampak positif dalam perekonomian jika dijaga kestabilannya. Adanya inflasi yang terkendali memperlihatkan hidupnya roda perkonomian, kemampuan masyarakat/daya beli yang baik. Begitu pentingnya angka inflasi terlebih jika bersanding dengan indikator lainnya, sehingga inflasi ini mendapat perhatian dari pemerintah dan menjadi target dari RPJMN 2020-2024 yaitu sebesar 3,0 ± 1 persen.
Berbagai upaya pemerintah dan Bank Indonesia sebagai bagian dari Tim Pengendali Inflasi yang dibentuk di daerah baik provinsi (TPIP) maupun kabupaten/kota (TPID) bertujuan untuk bisa merealisasikan target RPJMN terkait inflasi. Bahkan dalam Rakornas tim pengendali Inflasi tahun 2021 Presiden Jokowi menekankan untuk menjaga ketersediaan stok dan stabilitas harga bahan pokok untuk rakyat, tidak hanya fokus kepada pengendalian inflasi tetapi juga proaktif mendorong sektor ekonomi untuk tumbuh positif dan terjadi peningkatan produktifitas. Mungkin akan ada yang bertanya darimanakah penghitungan inflasi, tidak bisakah mengubah barang yang dihitung dalam inflasi, tidak bisakah barang yang banyak stok dipasaran dan tidak mengalami perubahan besar saja yang dimasukkan dalam penghitungan inflasi sehingga inflasi tetap terkendali?
Untuk menjawab segudang pertanyaan tentang inflasi kita perlu tahu “cikal bakal” dari inflasi. Jika pernah mendengar tentang Survei Biaya Hidup (SBH) yang dilakukan oleh BPS, itulah survei yang menjadi cikal bakal inflasi. Survei yang dilakukan setiap 5 tahunan sejak tahun 1977/1978. Pada 2022 ini adalah survei yang ke -7. Namun pada tahun ini ada yang spesial yaitu penggunaan CAPI dalam updating wilayah survei, penambahan kabupaten/kota IHK di Sulawesi Tenggara, tidak hanya Kota Kendari dan Baubau, ada penambahan Kabupaten Konawe dan Kabupaten Kolaka menjadi sampel.
Mengapa harus dilakukan SBH secara berulang 5 tahunan? SBH terbaru untuk menangkap perubahan barang-barang yang dikonsumsi masyarakat karena adanya perkembangan teknologi informasi, perubahan pendapatan masyarakat, perubahan pola penawaran dan permintaan barang/jasa, perkembangan jenis dan kualitas barang/jasa, serta perubahan selera dan perilaku masyarakat dapat mengubah pola konsumsi masyarakat.
Petugas yang terlibat dalam SBH ini telah dilatih dalam sebuah pelatihan agar memiliki pemahaman konsep dan definisi yang sama dalam melakukan wawancara untuk memperoleh konsumsi rumah tangga. Sampel yang terpilih akan didatangi secara rutin selama 3 bulan atau dalam 1 triwulan dan diwawancara dengan menggunakan kuesioner bulanan atau disebut VBH22-BL untuk mencatat konsumsi non makanan, kuesioner harian atau VBH22-HR dan VBH22-LK yang akan mencatat konsumsi makanan serta kuesioner VBH22-S akan berisi pengeluaran yang belum tercatat di VBH22-BL dan pendapatan rumah tangga. Dalam pengisian kuesioner SBH yang kejujuran dan ketelitian ini menjadikan beberapa alasan penolakan rumah tangga terhadap petugas, terkadang juga karena ketidakpahaman betapa pentingnya data yang mereka berikan.
Tahun 2022 ini, SBH sedang berlangsung dan memasuki triwulan ke-3. Responden SBH dipilih bukan tanpa dasar melainkan telah melalui metodologi yang teruji dan hasil akhir perhitungan inflasinya nanti bisa dibandingkan antar negara. Hasil dari SBH adalah paket komoditas yang berisi barang-barang yang dominan dikonsumsi masyarakat serta diagram timbang baru atau up-to-date yang diharapkan sesuai kondisi saat ini. Itulah mengapa kita tidak bisa mengganti komoditas ditengah perjalanan penghitungan inflasi tanpa melakukan SBH kembali.
Setelah tersedia paket komoditas, yang saat ini dihitung menjadi 11 kelompok pengeluaran, masih ada kelanjutan survei berikutnya sampai bisa dihasilkan angka inflasi. Survei tersebut antara lain survei harga konsumen (SHK) yang dilakukan rutin baik secara mingguan, dwimingguan maupun bulanan. Semua kelompok pengeluaran akan ada keterwakilan komoditas sesuai hasil SBH. Dalam satu komoditas tidak hanya diwakili oleh satu kualitas atau merk saja, bisa 2 sampai 3 kualitas yang dilakukan pencacahan rutin. Pencacahan kelompok makanan bukan pabrikan akan diukur dengan menggunakan satuan standar seperti kilogram, misalnya sayur bayam, besar atau kecil ikatan yang dijual pedagang dipasaran tidak mempengaruhi perbandingan antar bulan karena dihitung dengan satuan standar kilogram, pencacah pun dibekali timbangan digital untuk menjaga akurasi penimbangan. Begitu pula yang dilakukan di barang pabrikan akan dilakukan perbandingan untuk kualiats yang sama antara bulan ini dengan bulan sebelumnya, termasuk juga komoditas pendidikan, transportasi dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Perlu juga diketahui bahwa untuk beberapa komoditas menggunakan bobot atau penimbang dalam penghitungan inflasinya. Darimana asal bobot tersebut? Bobot dihasilkan melalui survei lain yang diadakan dengan kuran waktu yang sudah ditentukan. Misal untuk bobot beras akan ada survei volume eceran penjualan beras (SVPEB) yang dilakukan secara semesteran.
Banyaknya data yang harus dikumpulkan untuk sampai penghitungan inflasi ini tentu saja memerlukan kerja sama dari semua pihak, apalah arti petugas yang handal jika pedagang/toko/responden yang menjadi tempat sumber data tidak memberikan datanya dengan benar dan terbuka. Seperti ungkapan garbage in garbage out, maka sudah selayaknya semua pihak berhati-hati dalam menjalankan tugasnya untuk menghasilkan inflais yang dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan.
Pemerintah perlu mengedukasi masyarakat tentang pentingnya keikutsertakan/partisipasi dalam menjawab segala pertanyaan dari instansi pengumpul data agar data potret lapangan bisa membantu dalam perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan, tidak terbatas pada BPS saja. Mengevaluasi distribusi barang kebutuhan pokok masyarakat dan menjaga ketersediaannya. Penyebab inflasi jika terkait hasil laut bisa dengan mengaktifkan cooltorage, sehingga bisa menjaga ketersediaan ikan di masyarakat yang lauk utamanya ikan.
Kami BPS tidaklah bertugas melukis data tetapi kami hanya memotret kondisi yang terjadi dilapangan. Terima petugas kami dengan senyum dan berikan jawaban yang sebenarnya. Mari ikut serta menentukan arah inflasi ke depannya. Arah inflasi Sulawesi Tenggara ada ditangan kita bersama. ***