Perempuan Dalam Demokrasi “Kualitas Vs Kuantitas”

  • Bagikan
Wa Ode Rulia, S.P

Oleh: Wa Ode Rulia, S.P

SULTRAKINI.COM: Demokratisasi di Indonesia setelah Reformasi 1998 telah membuka akses bagi perempuan untuk terlibat dalam proses politik dan pengambilan kebijakan. Jumlah perempuan di legislatif, khususnya di DPR mengalami peningkatan dari 8.8 % pada pemilu 1999 menjadi 17% pada pemilu 2014 serta meningkat menjadi 20,8 % pada tahun 2019. Namun persentase tersebut belum mencapai angka 30%, yang diperkirakan dapat menghasilkan perubahan arah kebijakan politik. Gerakan perempuan dalam demokrasi elektoral masih menghadapi berbagai tantangan. Anggota legislatif perempuan juga menghadapi tantangan politik terkait aspek institusi politik baik sistem pemilu maupun kebijakan internal partai.

Jika menilik tren jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR RI semakin meningkat pada setiap pemilu, khususnya pada pemilu tahun 2019. Berdasarkan data BPS jumlah anggota DPR RI perempuan berjumlah 31 orang (6,71 %) pada tahun 1971. Jumlah tersebut menigkat menjadi 62 orang (12,4%) pada tahun 1992. Namun jumlah tersebut berkurang hanya menjadi 58 orang (11.6%) pada pemilu tahun 1997 dan kembali berkurang hanya 44 orang  (8,8  %) pada pemilu 1999. Anggota DPR RI kembali meningkat pada pemilu 2004 dengan jumlah 65 orang dan berjumlah 100 orang (17 %) pada pemilu 2009 hingga tahun 2019 mencapai jumlah  120 orang  (20,8%).

Bagaimana dengan provinsi sulawesi Tenggara? Apakah keterwakilan perempuan mencapai angka 30 %? Data BPS menunjukkan bahwa anggota DPRD di propinsi Sulawesi Tenggara berjumlah 9 orang (20 %) pada pemilu 2019. Jumlah anggota legislatif terbanyak adalah kabupaten Kolaka timur yang mencapai 10 orang (40 %) dan kota Kendari yang berjumlah 10 orang  (28, 5 %). Sedangkan jumlah yang sedikit ada di kabupaten Konawe kepulauan dengan jumlah 2 orang (10%) kemudian kabupaten Bombana dengan jumlah 3 orang (12 %) pada pemilu 2019.

Berdasarkan data diatas dapat dikatakan bahwa peran perempuan dalam menentukan arah kebijakan politik masih sangat minim. Suara mereka belum signifikan untuk dapat memenangkan pertarungan gagasan dengan jumlah yang sedikit. Bahkan angka 30 % sesuai amanah undang-undang masih belum tercapai. Dalam proses pengambilan keputusan di DPR, suara legislator perempuan masih berada dalam kontrol fraksi dan politik yang maskulin. Tekanan gerakan perempuan di luar parlemen tetap memiliki arti penting untuk mendukung dan mengawal politik perempuan di parlemen.

Demokrasi Indonesia pasca 1998 tumbuh menjadi demokrasi elektoral yang berbiaya politik besar. Hal ini dapat dilihat dari biaya pendirian partai politik yang tinggi dan biaya pencalonan legislatif dan kampanye yang mahal.  Pada posisi ini, maka perempuan perlu bekerja keras untuk membangun jaringan dan kekuatan yang strategis untuk bisa mencapai angka 30 persen dalam Perlemen. Peran partai politik juga menjadi penting untuk bisa memberikan kesempatan dan penguatan kapasitas kepada perempuan untuk bisa memenuhi amanah Undang undang.

Pertanyaan yang sering terlontar adalah kenapa perempuan harus diberi quota jika memang memiliki kapasitas? Pertanyaan ini sangat menarik jika dilihat dari porsi politik keterwakilan.

Dari jumlah penduduk yang mayoritas perempuan, wajib pilih terbanyak adalah perempuan. KPU RI mencatat bahwa jumlah pemilih perempuan adalah 95.829.962 (50,10 %) sedangkan laki laki berjumlah 95.193.207 (49,90 %) pada tahun 2022. Artinya bahwa 30 % menjadi angka yang realistis untuk perempuan sehingga mampu memberikan kontribusi positif dalam menentukan arah dan kebijakan strategis di Bangsa ini. Kenapa demikian? Karena keterlibatan perempuan mampu merepresentasikan pengalaman perempuan yang akan dituangkan dalam kebijakan yang lebih responsif gender.

Salah satu faktor yang menyebabkan minimnya keterwakilan perempuan dalam pemilu adalah lingkungan politik yang kurang mendukung bagi perempuan, sehingga menyebabkan perempuan kurang meyakini kemampuan dirinya dalam berpolitik. Untuk itu Partai Politik harus memberikan dukungan kepada perempuan untuk memperoleh pengetahuan dan peningkatan praktik politiknya.

Partai Politik juga harus memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang arti pentingnya partisipasi perempuan di bidang politik.  Kita berharap bahwa pada pemilu mendatang keterlibatan perempuan bisa terus meningkat seiring dengan semakin banyaknya perempuan yang memiliki keyakinan untuk terjun ke dunia politik.***

(Penulis Merupakan Koordinator Presidium Majelis Wilayah FORHATI Sulawesi Tenggara)

  • Bagikan