Oleh ANTON FERDINAN (Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bombana)
Pergantian pimpinan kepala daerah merupakan suatu keharusan setelah selesai menjalankan periode penugasan dalam kurun waktu tertentu. Satu periode selama lima tahun, dan maksimal selama dua periode untuk seorang bupati. Sehingga ada yang datang ada pula yang pergi, demikian seterusnya.
Di Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat tiga bupati yang berakhir periode jabatannya, pada 24 Agustus 2022, yakni Bupati Buton, Bupati Bombana dan Bupati Kolaka Utara sehingga Gubernur Sultra Ali Mazi pun melantik Pj. Bupati Buton yakni Drs. Basiran, Pj. Bupati Bombana Ir. H.Burhanuddin, M.Si. dan Pj. Bupati Kolaka Utara Parinringi.
Berkenaan dengan pelantikan Pj. bupati tersebut hampir pasti seluruh warga dalam wilayah otorita pemerintahan Pj bupati yang baru dilantik tersebut menaruh harapan akan adanya perubahan dan perbaikan ke arah yang lebih baik lagi.
Tanpa bermaksud membandingkan antara pejabat lama dengan yang baru bertugas, mungkin ada baiknya bisa direnungkan kisah seorang bupati yang pernah tugas di Kabupaten Buton. Sebuah kabupaten yang telah banyak melahirkan pemekaran, termasuk Kabupaten Bombana.
Adalah Kolonel Infantri Abd Hakim Lubis sebagai Bupati Buton kelima menjabat sejak Oktober 1986 hingga 7 Oktober 1991. Setelah mengakhiri jabatannya ia kemudian banyak dikenang warga Kabupaten Buton karena nilai-nilai keteladanan yang ditinggalkannya.
Sepenggal kisahnya kami kutip dari Surat Kabar Nusantara Pos Edisi Oktober 2001 sebagai berikut: … Mereka melukiskan, selama 5 tahun Hakim Lubis jadi bupati, memang tak sebuah proyek mercusuar pun berbasis pada kepuasan semu yang berhasil dibangunnya.
Dana-dana proyek pembangunan dialirkan sesuai peruntukkannya dan imbas sangat menguntungkan bahkan menghidupkan adalah terciptanya iklim pemerataan kue pembangunan di daerah ini.
Semua pengusaha kontraktor di sana kebagian proyek pemerintah, tentu saja sesuai pra kualifikasi masing-masing. Tetapi tidak pernah sekalipun Pak Lubis menerima upeti sepeser pun dari siapa pun di Buton ini.
Di seputar kekuasaan pun semasa Pak Lubis berkuasa di Buton, perbuatan berbau KKN menurun grafiknya. Inilah salah satu warisan brilian dari Pak Lubis.
Suatu waktu, tutur warga Buton yang beragam etnik, agama, dan budaya dikisahkan Pak Lubis marah besar kepada salah seorang pengusaha kontraktor proyek pemerintah di sana. Sudah menjadi tradisi, merasa telah menyelesaikan proyek (waktu itu ) bernilai ratusan juta rupiah. Pemborong bersangkutan bertandang ke rumah dinas bupati. Bupati Hakim Lubis yang ramah dan rendah hati itu diserahi oleh-oleh sebagai tanda terima kasih atas proyek yang telah diselesaikan.
Dengan ramah pak Lubis menjemput amplop tebal itu dari pengusaha. Tapi pada detik itu juga Pak Lubis langsung mengansurkan kembali upeti kepada pemberinya. Reaksi penolakan ini membuat pengusaha tersebut grogi, salah tingkah, pucat dan ketakutan. Inilah peristiwa pertama dan terakhir dialaminya selama 5 tahun Lubis jadi Bupati Buton.
“Saya berterima kasih kepada Anda. dengan selesainya pekerjaan ini sesuai ketentuan yang berlaku, Anda telah berbuat baik kepada diri Anda. Perusahaan Anda dan selebihnya Anda telah memberikan andil yang berharga kepada Nusa dan Bangsa. Bawalah pulang amplop ini untuk menunjang perusahaan Anda” Ujar Bupati Buton Hakim Lubis nada lembut kebapakan.
Mendapat nasehat dari pimpinan puncak daerah bersifat kebapakan ini terkulai lemas, terisak-isak. Tapi merasa jati dirinya diangkat-angkat oleh Bupati Buton Hakim Lubis.
Menurut empunya cerita yang pemberiannya ditolak Pak Lubis, kepadanya Bupati Buton itu mengungkapkan dirinya dan keluarganya sangat bersyukur kepada Tuhan atas limpahan rejeki yang diterima selama jadi bupati.
Mulai dari tunjangan jabatan, honor-honor dari proyek sesuai peraturan yang berlaku, fasilitas dari negara dan penghasilan dari Instansi induknya semuanya diterima utuh. “Semua ini halal dan ketika dikomsumsi menjadilah darah daging segar menyehatkan rohani dan jasmani” ujarnya.
Mengutip Hakim Lubis seraya mengatakan, Pak Hakim dianggapnya teman yang baik, guru dan sekaligus Bapak.
Sudah merupakan pengetahuan umum selama ini di Buton, bahwa ungkapan Pak Lubis memang dari lubuk hatinya yang bening. Sama kata dan perbuatan. Pak Lubis menjadi pemecah rekor kejujuran dan kesederhanaan yang pernah berkuasa di Buton.
Buktinya, ketika dia datang tugas sebagai bupati hanya dengan satu kopor pakaian dan ketika pergi setelah bertugas selama lima tahun juga tetap satu kopor pakaian tidak ada yang lain.
Hari itu, 7 Oktober 1991. Udara kota Baubau cerah. Tapi warganya sedang bergelut dengan kesedihan membuat suasana kota menjadi muram seperti digantungi mendung berat. Penduduk kota itu dalam wajah-wajah muram menangis dan meratap sedih menyemut mengerumuni Hotel Debora berjarak sekitar 300 meter dengan Pelabuhan Murhum, kala itu masih sangat sederhana.
Warga kota dari berbagai tingkatan sosial termasuk aparat pemerintah daerah setempat berdatangan seraya menyeka air mata keharuannya membuat kota wisata budaya itu larut dalam suasana haru.
Ketidak mampuan mereka meredam kesedihan tanpaknya cukup alasan. Hakim Lubis menjadi bupati Buton sekaligus sebagai teladan hidup mereka, beberapa hari sebelum serah terima jabatan kepada penggantinya, Saidoe, Pak Lubis dan istrinya sudah tinggalkan rumah dinas bupati, mobil dinas dan seluruh fasilitas negara lainnya dan menginap di hotel Debora. Lubis mengatakan, sebelum jabatan bupati diserahkan, rumah dinas harus dikosongkan, mobil dinas diserahkan dan semuanya dikembalikan. Maksudnya, kata Pak Lubis agar bupati baru tidak kerepotan. Kejujuran dan keagungan jiwa pak Lubis ini membuat warga Buton merasa kehilangan tokoh panutan hingga larut dalam kesedihan.
Itulah peristiwa yang terjadi hari itu. Segera setelah serah terima jabatan bupati yang pernah diembannya selama lima tahun.
Pak Hakim Lubis dan Istrinya Ny.Sri Heryati Lubis pamit dan singgah sebentar mengambil kopornya ditempat nginapnya, hotel Debora. Di hotel kelas melati inilah mantan bupati dan istrinya ini memohon diri, pamit dari rakyat yang sangat dikasihaninya.
Sebuah mobil Jip swasta pinjaman tampak bergerak perlahan di tengah lautan manusia. Tangan Pak Lubis keluar melambai-lambai sebagai pengganti ucapan selamat tinggal. Ribuan tangan penduduk berbuat serupa melambai-membalasnya seraya menyeka air mata mengucapkan, ”Selamat jalan Bapak dan Ibu tercinta”
Mobil bergerak agak lambat, cepat memasuki wilayah Pelabuhan Murhum Baubau. Pak Lubis dan Istrinya Sri Haryati naik kapal laut tujuan Ujung Pandang (kini Makassar) untuk selanjutnya melaporkan dirinya telah kembali ke instansi induknya Kodam VII/Wirabuana. Itulah sepenggal kenangan dari seorang bupati Buton yang berjiwa sederhana tetapi mengibarkan kejujuran, sama kata dan perbuatan. ***