Bawaslu Bersama Rakyat Mengawasi Pemilu Adalah Kunci Sukses Demokrasi

  • Bagikan
Arjab,.S.H

Oleh: Arjab, S.H

SULTRAKINI.COM: Salah satu tolak ukur demokrasi yang berjalan dengan benar adalah suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu). Demokrasi perlu dipahami sebagai sebuah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak yang sama terkait pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.

Kesuksesan Pemilu berupa Pemilihan Calon Legislatif (Pilcaleg), Pemilihan Kepala Daerah, dan Pemilihan Presiden perlu dipahami sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa Indonesia demi demokrasi yang lebih baik. Bila berlandaskan pemahaman tentang demokrasi maka agenda pemilihan umum (pemilu) yang biasanya terlaksana lima tahunan ini sesungguhnya bukan hanya tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Tahapan Pemilu yakni sudah dimulai sejak 14 Juni 2022 lalu. Pada bulan Mei 2023 ini partai Politik baru saja mendaftarkan calegnya ke KPU. Ke depan masih ada tahapan-tahapan seperti penetapan peserta pemilu, masa kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, hingga penetapan hasil Pemilu.

Dalam penyelenggaraan pemilu ini salah satu komponen penting adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga yang sengaja dibentuk untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu. Lembaga ini secara struktur ada di tingkat nasional/pusat, provinsi, kabupaten, hingga badan ad hoc di tingkat kecamatan dan kabupaten.

Namun dengan banyaknya berbagai potensi pelanggaran yang akan menyertai tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu, keberadaan Bawaslu saja tidak cukup. Beberapa kunci suksesnya demokrasi, ada empat poin utama yang perlu menjadi perhatian. Pertama, adalah gotong royong. Dalam hal ini perlu pengawasan bersama-sama dari seluruh lapisan masyarakat atau menggerakan seluruh lapisan masyarakat untuk bergotong royong dalam melakukan pengawasan pemilu.

Kedua, para pihak termasuk Bawaslu perlu bersikap adil dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Pelaksanaan pemilu yang berkeadilan adalah tanda bahwa pesta demokrasi ini berintegitas dan bermartabat. Rasa keadilan juga dapat memberi kepuasan tersendiri kepada peserta pemilu sehingga bisa menerima kekalahan maupun kemenangan.

Ketiga adalah netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia. Netral yang dimaksud adalah tidak berpihak atau tidak memberikan bantuan ke salah satu pihak, dalam hal ini kontestan atau peserta pemilihan.

Keempat adalah, pelaksanaan Pemilu harus sejalan dengan penyelenggara, peserta Pemilu dan masyarakat. “Sejalan” yang dimaksud di sini, masing-masing tidak keluar dari hak dan kewajibannya sehingga pemilu dan berlangsung dengan baik.

Selain keempat hal tersebut, potensi-potensi pelanggaran juga perlu penanganan efektif. Misalnya, terdapat potensi pelanggaran dengan adanya kampanye yang mengangkat sentimen isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Isu seperti ini sangat berpotensi memecah belah bangsa dan bisa menimbulkan kerusuhan antar kelompok masyarakat. Apalagi kini, penyebaran informasi tidak hanya secara fisik di dunia nyata, tapi juga kebanyakan lewat interaksi di media sosial (medsos), apalagi degan adanya penyebaran informasi hoaks untuk kepentingan oknum tertentu. Ruang-ruang digital atau ranah medos ini sendiri menjadi area yang sangat luas dan besar serta bisa menjadi pemicu konflik yang destruktif dalam Pemilu 2024.

Masalah lain yang juga tak kalah kompleks adalah praktik politik uang atau dikenal dengan istilah “serangan fajar” di mana suara pemilih dibeli dengan harga tertentu. Praktik ini bisa terjadi karena ada oknum tertentu yang menggunakan politik uang agar menang dengan suara terbanyak dan ada masyarakat yang mau saja suaranya “dibeli”.

Oleh karena itu perlu adanya pengawasan dan pemantauan pemilu yang melibatkan unsur-unsur masyarakat sipil seperti organisasi masyarakat (ormas), perguruan tinggi, dan organisasi masyarakat sipil dalam bentuk pengawasan partisipatif. Hal ini dilakukan karena masyarakat merupakan stakeholders terbesar daripada Bawaslu/Panwas yang cukup terbatas personelnya.

Nah bagaimana masyarakat dapat melibatkan diri? Misalnya kelompok masyarakat bisa saja membentuk relawan pemilu yang fungsinya menjaga agar tidak terjadi serangan fajar, atau mengawasi pemungutan perhitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Perguruan tinggi juga bisa mengambil peran serupa dengan adanya relawan dari kalangan mahasiswa untuk memantau jalannya pemilu dan memastikan setiap pelanggaran dapat tersampaikan atau diproses oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang di dalamnya ada Kepolisan, Kejaksaan, dan Bawaslu.

Keterlibatan masyarakat yang demikian adalah pengawasan partisipatif, bentuk hak bagi warga Negara Indonesia untuk mengawal hak pilihnya, sekaligus sebagai bentuk kontrol agar pemilu dapat berlangsung dengan jujur dan adil. Namun begitu, tentu tidak semua warga memiliki kesadaran dan tidak semua juga memiliki pemahaman tentang hak dan kewajibannya sebagai warga Negara.

Di tengah kondisi masyarakat yang kadang-kadang apatis terhadap kepemiluan, semangat optimisme gotong royong mengawasi pemilu harus terus dihidupkan. Lembaga seperti Bawaslu dapat terus menggelorakan pengawasan partisipatif, apakah dalam bentuk sosialisasi maupun melacak kelompok-kelompok warga yang masih peduli terhadap pemilu untuk diajak bekerja sama demi meningkatkan kualitas pengawasan pemilu.

Soal pengawasan partisipatif ini juga telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu dalam Pasal 94 ayat (1) huruf d bahwa dalam melakukan pencegahan pemilu dan pencegahan proses sengketa pemilu, Bawaslu bertugas meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu. Lebih lanjut hal itu kembali ditegaskan dalam Pasal 98 ayat (1) huruf d, 102 ayat (1) huruf d terkait pencegahan pelanggaran pemilu dan pencegahan sengketa proses Pemilu, serta Pasal 104 huruf f terkait kewajiban Bawaslu kabupaten/kota.

Terlepas dari perlunya dorongan Bawaslu untuk mendorong partisipasi tersebut, masyarakat sendiri juga perlu saling mendorong untuk terlibat dalam pengawasan. Misalnya di perguruan tinggi, ada komponen dosen dan mahasiswa yang bisa saling menguatkan untuk terlibat aktif berpartisipasi. Dalam skala yang lebih kecil adalah lingkungan keluarga, bisa saling mengingatkan tentang pemilu dengan tidak menerima politik uang.

Kemudian, di era digitalisasi saat ini, masyarakat secara individu maupun kelompok juga semakin mudah dalam berpartisipasi mengawasi Pemilu. Dengan kamera telepon seluler, warga dapat mendokumentasikan dalam bentuk foto dan video prosesi pemilu. Apabila terdapat pelanggaran kepemiluan juga dapat dilaporkan di kanal pengaduan website Bawaslu atau ke posko pengaduan yang tersedia.

Dengan adanya gerakan gotong royong mengawasi Pemilu, paling tidak bisa menutup ruang-ruang bermain bagi mereka yang hendak berbuat curang. Masyarakat juga akan semakin merasa bagian yang tak terpisahkan dari pesta demokrasi.  Pada akhirnya, dengan sebuah gerakan bersama akan tercipta pemilu yang demokratis dan berintegritas sebagai kunci langgengnya demokrasi. Yang perlu menjadi catatan semua pihak adalah keberhasilan mengawasi Pemilu bukan karena berhasil menyelesaikan sengketa terbanyak, menyelesaikan pelanggaran administrasi terbanyak, melakukan putusan tindak pidana terbanyak, melainkan, karena Bawaslu dapat meminimalisir pelanggaran, serta pemilu berjalan dengan benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangaan yang berlaku. ***

(Penulis aktif sebagai Jurnalis di Sulawesi Tenggara)

  • Bagikan