Belajar dari Konflik Poso

  • Bagikan
La Husen Zuada (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako)

Oleh: La Husen Zuada (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako)

Tulisan ini sengaja saya buat untuk merespon konflik yang terjadi di Kendari pada 16 Desember 2021, semoga dari tulisan ini bisa memetik pelajaran bagi siapa pun yang menginginkan kedamain.

Saya merangkai tulisan ini persis sedang berada di Kota Poso, tempat dimana dua puluh tahun lalu menjadi lokasi yang paling mencekam bagi umat manusia, rumah dibakar, manusia saling bunuh, tidak ada lagi sifat kemanusiaan, melainkan yang muncul adalah sifat kesetanan.

Akibat konflik ribuan orang menjadi korban, menurut versi pemerintah, yang dikeluarkan pada tanggal 5 Desember 2001 —tepat sebelum penandatanganan Deklarasi Malino— dirinci menjadi 577 korban tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, serta 510 fasilitas umum terbakar dan rusak.

Mengapa masyarakat Poso yang hidup dalam damai lalu berubah menjadi saling bunuh? Ada banyak peneliti yang telah menceritakan dan menulis soal konflik Poso, mulai dari sosiolog George Junus Aditjondro, sejarawan Garry van Klinken, hingga antropolog Lorraine Arragon.

Aditjondro menceritakan kronologis konflik berawal dari perkelahian antar pemuda yang berbeda agama lalu kemudian berkembanng ke kampung-kampung komunitas muslim dan kristen, sehingga kemudian dilabeli konflik agama.

Menurut Aditjondro agama hanyalah sebagai label untuk mempertajam konflik, akar konflik yang sesungguhnya adalah ketimpangan, kemiskinan dan ketidakadilan yang diciptakan pemerintah di era orde baru. Selama orde baru rasa ketidakadilan ini tidak menjadi soal karena kontrol militer begitu kuat. Namun persoalan ini menjadi api dalam sekam dan meletus ketika Soeharto jatuh dari tahta kekuasaan sebagai presiden selama 32 tahun..

Sementara Klinken membaca konflik dengan menyusun alur sejarah dari masa kolonial hingga pecahnya konflik. Poso disebutnya sebagai proyek modernisasi kolonial yang tidak tuntas. Situasi ini berlanjut di masa kemerdekaan, sentralisme pembangunan yang terpusat di Jawa dan ‘peng-anak tiri-an’ luar Jawa telah menjadi masalah serius di kemudian hari.

Tuntutan daerah-daerah di luar Jawa untuk memisahkan diri seperti terjadi tahun 1950-an kembali mengemuka. Ini akumulasi dari kekecewaan daerah terhadap pusat. Pemerintah merespon ini dengan memberi hak otonomi kepada daerah, namun kebijakan ini berdiri di atas fondasi yang rapuh.

Otonomi daerah oleh sebagian kalangan dibaca sebagai ‘peng-anak emas-an’ orang pribumi dan penyingkiran pendatang. Desentralisasi yang salah kaprah ini diperparah dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme elit lokal pasca otda. Elit lokal ini menguasai politik lokal, mengangkat pejabat hanya dari kelompoknya, dan mendistribusikan sumber-sumber APBD untuk kepentingan keluarga dan kelompoknya.

Meski Klinken seorang sejarahwan, ia menganalisis konflik Poso menggunakan perspektif politik perseteruan, dimana polarisasi terbentuk dari pertemuan antara kesempatan dan ancaman, persaingan, pembentukan kelompok dan kehadiran broker.

Lain pula Aragon, menurutnya konflik Poso dipicu oleh persaingan elit lokal memperebutkan sumber daya alam yang berinteraksi dengan kepentingan-kepentingan Pilkada pasca otonomi daerah. Persaingan elite ini kemudian berubah menjadi persaingan berbasis identitas keagamaan dan etnis ketika para calon kepala daerah melihat itu sebagai peluang untuk memberikan manfaat bagi mereka.

Ketiga peneliti di atas punya konstruksi yang berbeda-beda ketika membaca konflik Poso, meski jika dianalisis kesimpulan mereka adalah sama, bahwa penyebab konflik yaitu bukan persoalan identitas (agama), namun persoalan ekonomi-politik. Dari sisi ekonomi ada kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran. Dari sisi politik ada peluang yang didapat, dan ada kebijakan redistributif yang tidak adil, atau meminjam bahasanya David Easton, mereka yang memimpin tidak punya kapabilitas distributif, sehingga melahirkan ketidakstabilan politik.

Konflik Poso kini tidak ada lagi, namun kota ini belum betul-betul pulih, meski para tokoh dari kedua belah pihak telah menyesali dan kini mereka saling mengunjungi layaknya saudara, aksi teror masih terjadi, ini dilakukan oleh mereka yang masih menyimpan dendam dan diboncengi oleh kepentingan terorisme.

Poso meski kaya sumber daya alam dan berada pada lokasi strategis yang menghubungkan Sulawesi bagian utara dan selatan, ekonomi daerah ini belum sepenuhnya pulih. Rasa ketakutan dan traumatik masih menghampiri para warga yang menjadi korban dari konlik itu.

Para pelancong pun masih bisa menyaksikan sisa-sisa konflik itu, rumah dan bangunan bangunan yang dibakar. Ini tentu menjadi pelajaran bahwa konflik sangat merugikan bagi siapapun.  Poso seharusnya memberi pelajaran bagi mereka yang berkonflik. Konflik Poso juga harusnya memberi pelajaran bagi pemerintah untuk bertindak lebih adil dalam memimpin dan lebih responsif. (Poso, 17 Desember 2021).

  • Bagikan