SULTRAKINI.COM: Kaukus Timur Indonesia Kembali menggelar Focus Group Discussion (FGD), Sabtu sore (23 September 2023), menghadirkan dua narasumber dari Sulawesi Tenggara, yakni Ir Hugua (anggota DPR RI) dan Dr. La Ode Harjuddin (dosen di FISIP Universitas Halu Oleo).
Tema yang diangkat kali ini, “Belajar dari Kasus Rempang-Pohuwatu,” tetap memikat perhatian seiring relevansinya dengan situasi saat ini. Seperti biasa, FGD ini dipersembahkan oleh jurnalis berpengalaman, Upi Asmaradhana, dan disiarkan secara langsung melalui saluran YouTube UpiShow.
Dalam memulai diskusi, Hugua, yang sedang mendalami disertasinya di IPDN, menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Rempang dan Pohuwatu sudah bisa diramalkan jauh-jauh hari.
Menurutnya, ini adalah hasil dari gesekan antar-peradaban, yang semakin diperparah oleh laju perubahan industri yang cepat, dari era 4.0 hingga 5.0.
Jika pada era kolonialisme, bangsa Eropa menjelajah seluruh dunia demi rempah-rempah seperti cengkih dan pala, maka dalam era imperialisme modern ini, dua kekuatan raksasa dunia, yaitu China dan Amerika Serikat, bersaing untuk menguasai bahan baku industri.
Rempang di Kepulauan Riau menjadi sorotan investor karena pasir kausa yang menjadi bahan baku kaca, sementara Pohuwatu di Gorontalo memiliki cadangan emas yang berharga.
Menurut Hugua, Sulawesi Tenggara sangat menarik bagi investor karena memiliki sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh industri, terutama nikel, aspal, dan tujuan pariwisata unggulan seperti Wakatobi.
“Tidaklah berlebihan jika kita menyebut Sulawesi Tenggara sebagai harapan masa depan Indonesia,” ungkap anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ini.
Lebih lanjut, Hugua menekankan bahwa posisi Sultra di peta geopolitik dunia sangat penting karena terletak di Alur Laut Kawasan Indonesia (ALKI) III, yang menghubungkan Australia dan Asia.
“Dalam konteks geopolitik, hal ini, suka atau tidak, akan berdampak besar pada Indonesia dan khususnya Sulawesi Tenggara,” katanya.
Terhubung dengan kasus Rempang dan Pohuwatu, Hugua memberikan peringatan penting bahwa jika investasi di Sultra tidak dikelola dengan baik, masalah serupa akan terus terulang dan berdampak buruk pada masyarakat setempat.
“Jika perusahaan besar masuk dan mengambil tanah adat tanpa penyelesaian yang baik, kita dapat membayangkan apa yang akan terjadi di masa depan. Terutama karena pertarungan melibatkan dua kekuatan besar, China dan Amerika Serikat,” kata politikus yang lahir pada 31 Desember 1961 ini.
Dr. La Ode Harjuddin dari Universitas Halu Oleo menyampaikan pesan yang sama. Dia menyoroti tanda-tanda peringatan yang telah muncul dalam beberapa waktu terakhir, dengan benturan antara masyarakat dan pihak tambang atau investor di Sultra.
“Pemerintah harus bijaksana dalam mengambil langkahnya. Mereka tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat dengan alasan investasi. Kepentingan masyarakat harus dilindungi,” tandasnya.
Menurut Harjuddin, pola konflik komunal antara masyarakat setempat dan investor cenderung sama di berbagai daerah. Investor masuk, menguasai tanah, dan masyarakat merasa hak-hak mereka dilanggar, yang kemudian memicu tuntutan.
Sayangnya, dalam banyak kasus, pemerintah cenderung mendahulukan kepentingan investor daripada masyarakat, bahkan menggunakan aparat negara seperti TNI dan Polri untuk menindas masyarakat sendiri.
“Kita perlu bertanya, di mana posisi negara dalam hal ini? Apakah negara mewakili kepentingan masyarakat atau pengusaha? Ke depan, harus ada klarifikasi agar kejadian seperti Rempang dan Pohuwatu tidak terus terulang,” tegas Harjuddin.
Hugua juga mendukung pandangan tersebut. Menurutnya, untuk mencegah konflik di tingkat bawah, berbagai elemen masyarakat harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Jika keputusan sudah diambil, harus disosialisasikan secara merata untuk menghindari perasaan diabaikan oleh pihak-pihak tertentu.
Hugua juga mengajak untuk tidak hanya memendam ide-ide cemerlang yang dapat memajukan negara. Sebaliknya, ide-ide ini harus dibawa ke parlemen sebagai lembaga politik dan pembuat undang-undang.
“Karena ide yang bagus tidak akan menghasilkan apa-apa tanpa perbaikan regulasi. Itu melibatkan parlemen. Jadi, silakan sampaikan ide-ide Anda ke DPR, kami siap mendengarkan gagasan untuk memajukan bangsa ini,” katanya.
Harjuddin menambahkan apresiasi terhadap upaya masyarakat yang mengorganisir diri mereka sendiri untuk merespons perlakuan diskriminatif dari negara. Menurutnya, mengorganisir diri adalah hak konstitusional yang tidak boleh dipersoalkan. Salah satu wadah untuk perjuangan melawan ketidakadilan politik dan ekonomi adalah Kaukus Timur Indonesia.
“Mengorganisir diri agar kita memiliki posisi yang kuat dalam menghadapi penguasa adalah hak konstitusional. Demokrasi menjamin kebebasan dan kesetaraan bagi semua orang. Jadi, Kaukus Timur ini merupakan alat yang bagus untuk memperjuangkan kesetaraan kawasan, keadilan ekonomi, dan keadilan politik,” ujar Harjuddin.
Sebelumnya, Presidium Kaukus Timur Indonesia, Uslimin, menjelaskan bahwa lembaga yang ia pimpin adalah gerakan intelektual dan moral yang akan terus berbicara tentang kesetaraan dan keadilan di berbagai wilayah, baik dalam bidang politik maupun ekonomi.
Perjuangan untuk kesetaraan ini setidaknya melibatkan 22 provinsi di Kawasan Timur Indonesia, yang tersebar di Papua, Maluku, Maluku Utara, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Sulawesi.
Laporan: Shen Keanu