Oleh: JUHLIM
(Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Universitas Halu Oleo Kendari)
DEWASA INI, pemilihan kepala daerah menjadi topik utama dan terhangat dalam perbincangan masyarakat Indonesia pada umumnya, terkhususnya masyarakat Sulawesi Tenggara belakangan ini. Dari kalangan tua sampai kepada yang muda, isu politik ini seolah seperti pengetahuan umum yang membudaya. Fakta ini akan semakin hangat, jika diisukan dengan pola politik dinasti yang mulai muncul kepermukaan. Sistem politik ini mulai dikenal pada masa kekhalifahan Islam dan pemerintahan dinasti di China. Model politik semacam ini tidak bedah jauh dengan sistem pemerintahan kerajaan, artinya tahta seorang raja berasal dan diambil dari keluarga atau keturunan kerajaan pula. Politik dinasti mengisyaratkan kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki hubungan keluarga. Dan gejala ini muncul bak cendawan di era pilkada langsung di Indonesia. Tidak ada aturan yang melarang keluarga untuk bisa berpartisipasi aktif mencalonkan diri untuk memperebutkan jabatan politik baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Akibatnya, pejabat dengan pertahanan baik sengaja maupun tidak sengaja mendorong keluarganya untuk maju mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Fenomena inilah yang kemudian terus berkembang di wilayah Indonesia ketika pilkada diselenggarakan.
Kemunculan sistem politik dinasti ini, tanpa disadari akan menodai makna demokrasi yang di perjuangkan dengan darah pada peristawa reformasi 1998. Ketika kran demokrasi tersumbat, maka dengan sendirinya demokrasi akan dimiliki oleh mereka yang memiliki dominasi kuasa yang ditopang oleh materi. Akibatnya, ideologi Pancasila sebagai bagian dari identitas politik, dikeranjang sampahkan. Fakta ini dapat dilihat dari lemahnya kapasitas pemimpin kita, baik secara moralitas maupun secara leadership. Justru mereka yang menjadikan materi sebagai ideologi politik dan kebangsaannyalah yang melenggang tanpa hambatan.
Kini benih-benih dinasti politik di sejumlah daerah semakin kokoh bergenerasi-generasi dan tampak sangat mengkhawatirkan bagi kita yang memandangnya. Baik dalam kontestasi pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif, daftar calon-calon tak jauh dari kelompok masyarakat tertentu yang turun-temurun mewariskan kekuasaan. Bila ia membuka jalan untuk kalangan dekat atau anggota keluarga, merekalah yang akan mengisi posisi-posisi politik strategis. Dengan sendirinya, individu yang cakap serta handal namun tidak memiliki ikatan kekerabatan yang kuat, dipaksa harus mengalah dengan mekanisme politik yang didesain seolah tampak demokratis.
Sistem politik dinasti ini akan menghilangkan identitas pemimpin dan pengelola negara yang dikodifikasi oleh lingkungan sosio-politik, membuat mereka terlepas dari rasa solidaritas sosial. Apabila orang-orang seperti ini menjadi pemangku jabatan, mereka hanya akan memperturutkan hawa nafsunya untuk hidup dalam keenakan, tenggelam dalam kemewahan dan kelimpahruahan dan jelasnya cenderung korupsi. Patron dalam dinasti politik menguasai posisi-posisi kunci dalam sistem politik (pemerintahan, legislatif, dan partai politik) atau bahkan meluas sampai ke sistem ekonomi.
Menurut Zulkieflimansyah, dampak negatif apabila politik dinasti diteruskan:
1. Menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.
2. Sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
3. Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Politik dinasti merupakan langkah destruktif di tengah demokrasi yang kian bersemi. Perlahan, kita biarkan menjAuh dari ideologi Pancasila sebagai muara politik berbangsa. Sebab, mereka hanya menjadikan kekuasaan sebagai instrumen untuk mencapai kesejahteraan kelompok sembari menjaga eksistensi antargenerasi. Kanalisasi kuasi ini membuat demokrasi kian tercedarai. Sumbatan kran demokrasi dengan cara kanalisasi kekuasaan pada kelompok kepentingan elit disusul oleh melemahnya supremasi hukum, sudah lebih dari cukup untuk menjadi indikator bahwa kita telah terjebak dalam demokrasi prematur. Demokrasi hanya pada tataran formalitas dan nama belaka, namun jauh dari kata ideal.
Politik dinasti harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.
(Penulis adalah kader HMI-MPO Cabang Kendari dan Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Universitas Halu Oleo Kendari)