Selamat Tinggal Belajar Daring ?

  • Bagikan
Ayu Astriani, S.Pd., M.Pd (Guru MTs Negeri 1 Wakatobi)
Ayu Astriani, S.Pd., M.Pd (Guru MTs Negeri 1 Wakatobi)

Oleh: Ayu Astriani (Guru MTs Negeri 1 Wakatobi)

Dalam waktu dekat akan semakin banyak sekolah yang dibuka kembali. Siswa-siswi akhirnya mendapatkan uang jajan lagi. Guru-guru tak lagi dikatai makan gaji tanpa lelah letih. Orang tua bisa bernafas lega setelah sekian bulan turut belajar seolah-olah bersekolah kembali. Ada nasehat lama yang selalu menenangkan hati “Pasti ada hikmah dibalik semua ini” Semakin banyak pihak yang sadar bahwa siswa, guru, dan orang tua adalah tiga hal yang saling menopang satu sama lain.

Sadarkah kita selama ini bahwa ketika ketiga unsur di atas kokoh, maka keberhasilan pendidikan bisa diramalkan. Kadang kala ada kejadian dimana guru dan orang tua yang sudah suportif namun siswa ogah-ogahan. Ada pula guru dan siswa yang bersemangat dalam pembelajaran namun orang tua acuh tak acuh. Dan percaya atau tidak, bukan satu tapi banyak oknum guru yang lari dari etos kerjanya. Bayangkan jika ketiga unsur itu lemah semua? Makanya kontrol dan kesadaran dari ketiganya sangat perlu untuk menjadi dasar penopang pendidikan agar menjemput keberhasilan yang diharapkan.

Selama pendemi covid-19 berlangsung, siswa banyak mengeluh. Kebanyakan mereka mengeluh karena tidak bisa berkumpul dengan teman-temannya dan juga tidak mendapatkan uang jajan yang biasanya menjadi salah satu semangat mereka untuk ke sekolah. Kadang mereka mengeluh pembelajaran daring yang tidak bisa membuat mereka mengerti dengan pelajaran, banyaknya tugas, dan godaan untuk “bolos online” untuk bermain video game dari gawai mereka atau sekedar tidur karena otak ambyar karena berfikir sendiri dengan pelajaran yang banyak itu. Namun itu semua bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Banyak dari kita memang belum terbiasa dengan pembelajaran daring yang menciptakan stigma atau pemikiran orang-orang bahwa belajar hanya dilakukan di sekolah secara tatap muka dan interaksi langsung.

Di sosial media, kadang kala kita melihat postingan seorang ibu-ibu, entah itu ibu rumah tangga, ibu-ibu yang juga berkarir, berwirausaha dan lain sebagainya, kebanyakan mengeluhkan pembelajaran daring. Sebagian besar ibu-ibu menahan rasa kesal dan amarah, sebagian lain melampiaskannya dengan tindakan “kekerasan ringan”. Namun, ada banyak juga orang tua yang acuh dan menyerahkan perkembangan pendidikan anaknya kepada sekolah dan lingkungan. Tentu hal ini kurang bisa mendukung karena unsur pendidikan yang utama berawal dari keluarga. Sebuah keluarga tidak mesti memiliki harta berlimpah untuk mendukung keberhasilan pendidikan anak, dukungan materiil yang cukup dan dukungan moril yang paling utama bisa membantu pesatnya perkembangan pendidikan anak. Menumpukan segalanya kepada sekolah dan masyarakat adalah sebuah pemikiran yang tidak bertanggungjawab.

Di masa pandemi ini, yang paling lantang menjerit adalah siswa-siswa yang ingin belajar namun tidak memiliki gawai atau gadget. Mereka yang jauh dari jangkauan jaringan seluler tidak bisa serta merta dipisahkan dari bagian sistem pendidikan kita yang sudah bergeser saat ini. Guru pun menjadi penyambung dari terputusnya interaksi siswa-siswa tersebut dengan sistem pendidikan. Guru-guru berinovasi dan mengeluarkan tenaga ekstra untuk mencapai tuntutan standar pendidikan nasional. Mereka berkeliling ke rumah-rumah siswa, merancang lembar kerja siswa agar mudah dipahami dan dikerjakan serta membuat sistem penilaian yang berbeda dari pembelajaran terdahulu. Namun hal tersebut tidak hanya kejadian di tempat yang tidak memiliki jaringan. Bahkan dikota-kota besar pun, yang memiliki jaringan rata-rata 4G ke atas, masih cukup banyak siswa yang kurang mampu belajar daring baik dari segi materiil ataupun moriil.

Harapan kita tentunya pembelajaran bisa berjalan normal seperti dulu, namun pandemi  covid-19 masih belum menunjukkan hasil yang membuat kita bisa “sebebas” dulu. Pandemi ini masih terus berjalan di prediksi hingga tahun berikutnya. Banyak persiapan yang harus dilakukan untuk menggerakkan tatanan pembelajaran baru karena pembelajaran tidak akan sama lagi seperti dulu minimal sampai tahun ajaran berikutnya sampai ada titik cerah solusi pasti untuk pandemi ini. Persiapan untuk pembelajaran “new normal” mulai dari penggunaan masker, face shield atau pelindung wajah, kaos tangan, lingkungan sekolah yang menunjang area cuci tangan, handsanitizer dan pengukur suhu. Yang paling penting adalah physical distancing atau jaga jarak selama proses pembelajaran. Kelas-kelas yang umumnya berisi 30 siswa per kelas, maka harus dikurangi dan dibuat ber-shift untuk tetap bisa menerapkan kebiasaan jaga jarak. Durasi pembelajaranpun tidak akan seperti biasanya akibat penyederhanaan kelas tersebut. Hal ini perlu di perhatikan karena diluaran sana meskipun banyak pasien covid-19 yang sembuh, akan tetapi jumlah pasien baru terus bertambah dan sulit ditekan akibat kondisi mental sosial yang mulai tidak stabil, ada yang peduli, ada yang tidak peduli, menganggapnya konspirasi bahkan yang lebih mengejutkan, ada yang menganggap pandemi ini hanya sebuah mitos.

Ketika kebanyakan orang lelah dan ingin menjalankan pendidikan seperti dulu kala, dengan pandangan yang bijak, pengamat mengkritik rencana pembukaan kembali sekolah-sekolah di Indonesia. Mereka menolak bukan tanpa fakta pendukung. Sebagaimana banyak kejadian di Negara-negara lain ketika pembukaan kembali sekolah-sekolah, para siswa kemudian saling menularkan penyakit ini sehingga sekolah menjadi klaster baru penyebaran covid-19 yang sangat membahayakan. Kritik tersebut patut dipertimbangkan mengingat kondisi sosial yang sedang lengah dengan pandemi ini. Mengorbankan anak-anak bukanlah tujuan kita semua. Baiknya pemerintah merancang dengan mantap kegiatan sekolah sehingga terjamin keamanan dan keselamatan bersama. Tentunya akan lebih baik untuk menggabungkan proses pembelajaran tatap muka dan daring secara bijaksana sebagai solusinya untuk saat ini.

Pembelajaran campuran antara daring dan luring atau tatap muka merupakan sebuah solusi pendukung masalah saat ini maka jadilah Blended Learning (Pembelajaran Campuran) sebagai new normal dalam dunia pendidikan. Meskipun telah banyak penelitian pendidikan yang membuktikan keberhasilan model pembelajaran ini, namun model ini baru menjadi pusat perhatian dari guru, siswa dan orang tua pada saat pandemi ini karena di satu sisi pembelajaran yang sepenuhnya daring sulit untuk mendapatkan keberhasilan apalagi di tingkat SMP ke bawah, dan di sisi lain covid-19 masih mengintai kita semua.

Pada akhirnya kita semua harus mulai terbiasa dengan pembelajaran daring karena kita tidak tau kapan new normal menjadi normal seperti dulu. Pembelajaran dikelas nyata tidak akan lagi menjadi satu-satunya model pembelajaran yang akan dilakukan mulai sekarang. Kelas daring yang hadir sebagai komplementer atau pelengkap. Pihak-pihak seperti siswa, orang tua, serta guru (sekolah) sebaiknya memiliki cara pandang atau mindset baru tentang pendidikan dan pembelajaran. Selain mendukung kebijakan pemerintah, kita sebagai pihak yang terkait penting, wajib mempersiapkan segalanya dengan belajar tanpa henti, mengembangkan diri dengan ide-ide yang sesuai dengan kondisi kita saat ini.  ***

  • Bagikan