Festival Lalo’a Peringatan Musim Imigrasi Ikan Berlangsung di Wakatobi

  • Bagikan
Meantu'u Liya, Muhammad Ali saat membuka Festival Lalo'a (Foto: Amran Mustar Ode/SULTRAKINI.COM)
Meantu'u Liya, Muhammad Ali saat membuka Festival Lalo'a (Foto: Amran Mustar Ode/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: WAKATOBI – Meantu’u (ketua adat) Liya, La Ode Muhammad Ali resmi membuka festival lalo’a secara adat, di Lapangan Benteng Liya, Jumat (11/10/2019).

Festival ini dihadiri oleh perwakilan kementrian kelautan dan perikanan, forum komunikasi pimpinan darah (Forkopimda) Wakatobi, sejumlah kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD), dan disaksikan oleh ratusan masyarakat, yang diselenggarakan sejak tanggal 11 sampai 13 November 2019. Juga terlihat sejumlah Warga Negara Asing (WNA) ikut menyaksikan festival, hingga mereka dibuat pukau dengan perayaan atraksi budaya di festival itu.

Meantu’u Liya, La Ode Muhammad Ali, mengucapkan terima kasih atas partisipasi semua pihak, hingga pelaksanaan festival ini bisa berjalan dengan lancar.

“saya ucapkan banyak-banyak teruma kasih kepada seluruh lapisan masyarakat yang berpartisipasi dalam acara ini, semoga Alloh membalasnya dengan pahala yang melimpah,” ucapnya saat memberikan sambutan

Kata La Ode Muhammad Ali, festival Lalo’a ini merupakan fenomena alam dan kearifan lokal masyarakat setempat pada musim lalo’a borona atau perayaan musim migrasi ikan borona (ikan baronang). Sehingga menginspirasi masyarakat adat Kadie (wilayah) Liya untuk menyelenggarakan sebagai Festival Lalo’a.

“Festival ini bertujuan sebagai sarana pendidikan tentang tradisi lalo’a dan persembahan masyarakat adat Kadie Liya untuk ketahanan pangan dan perikanan berkelanjutan,” kata Laode Muhammad Ali.

Kepala Adat itu juga memaparkan bahwa tradisi lalo’a ditandai dengan kedatangan (migrasi) ikan baronang (Rabbitfish) atau borona (nama lokal) yang tak terhingga jumlahnya ke kawasan perairan pesisir di wilayah laut desa adat Liya. Biasanya, peristiwa itu terjadi pada bulan September sampai November tiap tahun, setiap tanggal 9 sampai tanggal 11 bulan Hijriah.

“Pengetahuan turun-temurun nelayan menandai kawanan ikan itu menyebabkan laut sepanjang kawasan seperti mendidih atau berbuih permukaannya. Sedangkan di kolom laut dilukiskan tersaji pemandangan seperti hamparan awan hitam yang menggulung-gulung memenuhi area. Setelah mencapai tubir, sebagian dari kawanan ikan itu berenang ke daerah gosong pasir dan padang lamun untuk melepas telur,” tuturnya.

Biasanya menjelang sore ikan-ikan itu banyak yang terjebak dalam sero (alat tangkap ikan tradisional), disaat nelayan tengah menunggu dengan tenang. Ketika air surut, nelayan memanen sero yang telah penuh dengan ikan.

Pada saat fajar menyingsing di ufuk timur dini hari, kawanan ikan dalam sero yang belum ditangkap, maupun di luar sero, akan melepas telurnya. Detik-detik ketika ikan melepas telurnya, dilukiskan nelayan sebagai letupan yang menyebabkan laut disekitar itu memutih oleh telur ikan yang berhamburan.

Kekuatan atau tekanan air akibat letupan dari perut ribuan ikan baronang disebut mampu memutuskan tali-temali pengikat sero (dulu sero terbuat dari bilah-bilah bambu yang dianyam dengan tali hutan).

Dihari pertama pembukaan festival yang diselenggarakan di benteng Liya, Desa Liya Togo, Kecamatan Wangi-wangi selatan ini, terdapat sejumlah atraksi budaya diantaranya, honari mosega (tarian perang), dan Mangani’a.

Kemudian, pada tanggal 12 November 2019 akan diselenggarakan atraksi budaya, sepa buloli, hebatu kampo, dan potamba di Desa Liya One Melangka, kemudian malam harinya akan ada hekomba di Desa Liya Bahari Indah.

Pada penutupan festival pada tanggal 13 November 2019, akan diadakan adopsi borona, dan parade akbar lalo’a boronang di Desa Liya Bahari Indah, dan bakar ikan boronang masal di Desa Liya Mawi.

Laporan: Amran Mustar Ode

Editor: Hasrul Tamrin

  • Bagikan