Lima Fakta tentang Masyarakat Adat

  • Bagikan
Masyarakat Adat Saga, Ende, NTT (FOTO_ AMAN).
Masyarakat Adat Saga, Ende, NTT (FOTO_ AMAN).

SULTRAKINI.COM: Jakarta – Indonesia memiliki ribuan komunitas masyarakat adat yang tersebar di segala penjuru nusantara. “Masyarakat Adat merupakan sekelompok manusia yang memiliki identitas budaya yang sama, serta ikatan batiniah yang kuat atas suatu ruang geografis tertentu sebagai rumah bersama. Rumah ini dikuasai, dijaga, dan dikelola secara turun-temurun sebagai wilayah kehidupan sejak zaman leluhurnya,” jelas Mina Setra, Deputi Sekjen untuk Urusan Sosial Budaya di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Karakteristik Masyarakat Adat adalah memiliki aturan adat, nilai-nilai adat, adat istiadat, serta legenda. Seperti juga sebuah organisasi, Masyarakat Adat juga memiliki susunan pengurus dalam kelembagaan adat.

Travel blogger Satya Winnie sangat senang mengunjungi kampung-kampung adat. Salah satu insight yang ia dapatkan adalah soal slow living. “Kehidupan yang kita jalani selama ini serba cepat, sedangkan di kampung adat serba lambat. Namun, hal itu tidak mengurangi kebahagiaan mereka. Manusia dituntut untuk beradaptasi, tetapi ketika memilih untuk tidak beradaptasi dengan teknologi, ternyata tidak apa-apa, kok. Dunia mereka tidak runtuh hanya karena tidak punya handphone atau televisi. Inilah yang saya kagumi dari mereka.”

Sejauh mana Anda memahami soal masyarakat adat? Ini 5 fakta menarik yang perlu Anda ketahui:

1. Membuka diri terhadap turis

Banyak orang mengira bahwa kehidupan Masyarakat Adat sangat tertutup dari dunia luar. Mina menjelaskan, saat ini hanya sebagian kecil saja yang mengisolasi diri seperti itu. Misalnya, Baduy Dalam dan Orang Rimba. Sebagian besar anggota Masyarakat Adat sudah berbaur dengan dunia luar. Akibatnya, kehidupan mereka juga dipengaruhi oleh dunia luar, termasuk dalam berpakaian.

“Masyarakat Adat merupakan masyarakat yang dinamis, sangat senang kedatangan orang dari luar komunitas. Pada dasarnya, mereka punya rasa ingin tahu yang tinggi. Yang jadi persoalan justru para tamu. Tidak semua turis bisa menghargai kebudayaan dan lingkungan,” kata Mina.

Satya bercerita, seorang teman yang ia ajak ke Kampung Adat Waerebo, Nusa Tenggara Timur, mengenakan dress super mini. “Seharusnya turis belajar tentang cara bertutur dan berperilaku, jika ingin mengunjungi kampung adat. Memang belum ada panduan tertulisnya, tapi kita bisa gunakan common sense, paling tidak memakai baju yang sopan,” kata Satya, yang selalu membawa sarung ketika bertandang ke kampung adat.

Ia mengajak masyarakat modern untuk jadi turis yang bertanggung jawab, sekaligus turis yang manusiawi. Jangan hanya datang untuk foto-foto. “Ajaklah mereka berinteraksi. Kalau mereka belum bisa berbahasa Indonesia atau kita tidak bisa berbahasa mereka, saya biasanya menggunakan bahasa tubuh. Mari tinggalkan jejak yang baik,” kata Satya, merasa prihatin dengan turis yang hanya sibuk selfie.

2. Anak muda memanggil anak muda

Satya bercerita soal generasi muda Baduy Dalam yang semakin ingin keluar dari komunitasnya karena melihat anak-anak muda Baduy Luar yang punya ponsel. “Bagi mereka, itu merupakan barang yang mewah, karena mereka belum pernah memilikinya. Padahal, ketika mereka sudah keluar, mereka tidak boleh masuk lagi. Ini bahaya untuk kelangsungan hidup masyarakat Baduy Dalam.”

Demi keberlanjutan hidup Masyarakat Adat inilah kemudian muncul Gerakan Pulang Kampung yang digagas Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). “Dengan gerakan ini anak muda memanggil teman-temannya yang bersekolah dan bekerja di kota untuk pulang dan mengurus kampung. Maka, sekarang banyak anak muda dari Masyarakat Adat yang akhirnya pulang.”

“Mereka mampu berkarya dan mendatangkan penghasilan. Misalnya, anak-anak muda Minahasa, berkebun, menanam cabai dan tomat, dua bahan pangan segar yang selalu dicari oleh penduduk sana. Sekali panen keuntungannya bisa mencapai Rp150 juta. Penghasilannya jauh lebih besar daripada bekerja di kota,” kata Mina.

Yang membanggakan, ketika pulang kampung, anak-anak muda itu tidak hanya berkebun, melainkan juga mendirikan Sekolah Adat yang jumlahnya kini sudah berkembang menjadi 82 sekolah di berbagai daerah di Indonesia.

Sekolah Adat memiliki kegiatan yang berbeda dari sekolah umum. Serupa living school, mereka mengajarkan berbagai hal yang terkait adat istiadat. Siswa sekolah adat belajar tentang cara menanam dan menugal padi, aturan adat, juga tarian, makanan, dan permainan tradisional. Mereka juga belajar tentang hutan, termasuk jenis tanaman dan binatang yang hidup di hutan.

“Yang berperan sebagai guru adalah para tetua kampung yang punya pengetahuan. Ada tetua hebat yang mengajarkan ilmu astronomi terkait pertanian mereka. Misalnya, ketika bintang tertentu sedang naik, maka itulah waktu yang tepat untuk menanam. Kalau bintangnya sudah turun, sebaiknya tidak menanam lagi karena sudah akan banyak hama,” cerita Mina.

3. Produktif selama pandemi

Masyarakat Adat aktif menjalankan ritual dan meracik berbagai ramuan untuk meningkatkan imunitas mereka. Di samping itu, mereka juga meletakkan berbagai simbol untuk menangkal bahaya. Ditambah lagi, meski pemerintah tidak menetapkan lockdown, masyarakat adat berinisiatif menerapkan lockdown sendiri dari Maret 2020 hingga Mei 2021. “Jadi, selama satu tahun mereka tidak memperbolehkan orang keluar masuk kampung. Dengan begitu, mereka aman dari pandemi,” kata Mina.

Selama lockdown, karena tidak ada virus yang mengancam di kampung, mereka bebas beraktivitas. Kebanyakan memilih bertani. Mina bercerita, “Contohnya, Masyarakat Adat Sakai yang tinggal di kawasan Bengkalis, Riau. Tanah mereka hampir habis karena ditanami kelapa sawit. Tanah yang tersisa kualitasnya juga kurang baik. Menyesuaikan kondisi tanah tersebut, mereka kemudian menanam Semangka dan panen hingga 2 ton. Tentara yang berjaga di daerah itu membeli satu truk semangka dari mereka.”

Satya yang cukup sering berkunjung ke kampung adat mengamati bahwa hidup masyarakat adat sangat tergantung pada alam. Menurutnya, hidup mereka baik-baik saja sebelum pariwisata dikembangkan. “Mereka yang hidup di gunung akan bertani, sedangkan yang hidup di pesisir akan menangkap ikan. Ini sudah dilakukan secara turun-temurun.”

4. Ritual adat untuk jaga lingkungan

Setiap komunitas Masyarakat Adat mempunyai kearifan lokal tersendiri, termasuk berbagai ritual, yang selalu berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Misalnya, ritual Sasi Ikan Lompa di Maluku Tengah. Dengan ritual itu, ikan lompa (sejenis sardin) tidak boleh diganggu selama satu tahun. Ketika sasi dibuka, yaitu saat pemangku adat menyatakan ikan lompa sudah cukup umur untuk diambil, barulah masyarakat boleh menangkapnya.

“Ini merupakan salah satu kearifan lokal untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Ikan dibiarkan hidup agar bisa berkembang biak, baru kemudian dipanen bersama,” kata Mina.

Masyarakat adat Dayak Iban yang tinggal di Sungai Utik, Kalimantan Barat, memiliki ritual Mali Umai. Ritual ini dilakukan dengan memanggil leluhur untuk membasmi hama. “Ketika tanaman di ladang sudah mulai tumbuh, mereka mengadakan ritual Mali Umai. Selama tiga hari berturut-turut tidak ada orang yang boleh melintasi wilayah tersebut, karena pada saat itu leluhur sedang membersihkan tanaman dari hama. Kalau kita lewat, kita bisa dianggap hama. Ritual ini dilakukan untuk menjaga lingkungan. Mereka tidak memerlukan pestisida untuk mengusir hama,” cerita Mina.

Hanya saja, Mina menegaskan, kearifan lokal Masyarakat Adat tidak akan bertahan, kalau wilayah adatnya hilang. Saat hutan menghilang, kearifan lokal juga lenyap, karena kearifan itu banyak berhubungan dengan hutan, dan dilakukan di hutan. “Jika hutan tak ada lagi, ritual-ritual itu akan dilakukan di mana?” kata Mina.

Meski ritual adat tetap dijalankan, bukan berarti Masyarakat Adat menolak kemajuan dunia medis, termasuk vaksin. AMAN sedang bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk memudahkan akses vaksinasi bagi Masyarakat Adat. “Kami mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk memfasilitasi agar Masyarakat Adat bisa divaksinasi. Karena, Masyarakat Adat sadar, di samping ritual, juga diperlukan usaha dan tindakan agar terhindar dari ancaman pandemi. Saat ini banyak Masyarakat Adat yang sudah divaksinasi atau sedang dalam proses untuk mendapat vaksin,” kata Mina.

5. Berjuang demi pengakuan hak

Selama lebih dari 20 tahun komunitas Masyarakat Adat berjuang untuk mendapatkan pengakuan atas hak mereka. Saat ini RUU Masyarakat Adat sudah berada di tangan DPR. Namun, hingga kini belum juga disahkan, meski perjuangan itu sudah dikoordinasi bersama sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk AMAN. Hingga kemudian dibentuklah Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat untuk mendorong agar RUU tersebut segera disahkan.

UU Masyarakat Adat merupakan hal yang sangat penting dalam melindungi Masyarakat Adat secara hukum, karena selama ini mereka kerap mengalami kekerasan, ketidakadilan, dan konflik. Di samping itu masyarakat secara luas juga akan mendapatkan manfaat dari UU Masyarakat Adat. Salah satunya, kita akan mendapatkan manfaat dari lingkungan hidup yang terjaga dengan baik.

“Kami percaya, iklim kita akan bisa dijaga, jika praktik-praktik pengetahuan lokal yang diterapkan oleh Masyarakat Adat tetap dipertahankan. Selain itu, UU Masyarakat Adat akan mempertegas status ke-Indonesia-an kita yang mengusung keberagaman. Tak bisa dibayangkan, bagaimana Indonesia, jika tanpa Masyarakat Adat. Karena begitu pentingnya keberadaan Masyarakat Adat ini, kami juga berharap agar negara segera membentuk lembaga independen yang khusus mengurus Masyarakat Adat. Dengan begitu, ada yang mengkoordinasikan program-program negara dalam melaksanakan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak Masyarakat Adat, sehingga sektoralisme selama ini bisa diatasi,” kata Erasmus.

Masyarakat Adat berperan penting dalam menjaga ekosistem dan keharmonisan alam. Tanpa mereka, tidak ada yang menjadi garda terdepan dalam menjaga hutan yang merupakan sumber pangan, air bersih, dan udara segar yang kita hirup setiap hari.

Editor: M Djufri Rachim

  • Bagikan