Tanah Merah Nikelku 

  • Bagikan

Oleh: Nasir Andi Baso (Pengamat Kebijakan Publik dan Politik, Dosen FE & Bisnis Unsultra). 

SAAT dalam penerbangan Jakarta – Kendari beberapa waktu yang lalu, secara kebetulan sempat berkenalan dengan pengusaha tambang (ngakunya). Dengan serius dia bercerita tentang pontensi nikel dalam dunia industri masa depan,  serta dampak ekonominya bagi  Indonesia dan masyarakat Sulawesi Tenggara.  

Diskusi tentang nikel tidak lepas dari nilai kurs dollar. Teman baru tersebut dengan tangkas menjelaskan keuntungan yang bisa didapat secara mudah kalau mau berpartisipasi sebagai kontraktor minning, katanya. Hitungannya bisa menggetarkan iman yang mendengarkan. Godaan keuntungan menjadikan nikel sebagai primadona unggulan Sultra saat ini. 

Dalam skema pengembangan industri nikel di Sultra/Morosi dan Sulawesi Tengah/Morowali telah tertuang di RPJMN dengan nomenklatur proyek strategis nasional (PSN), yaitu untuk membangun mega proyek smelter dengan menggandeng investor besar dari China dengan berbagai kemudahan dan fasilitas PMA.  

Sejak perencanaan tahun 2015 sampai sekarang, pertanyaan besar dalam benak banyak pihak terutama masyarakat Sultra, siapa yang menikmati secara ekonomis dalam skala besar pertambangan nikel di Sultra? 

Saat membaca berita online hasil RDP di DPR dengan PT Antam tentang blok Mandiodo di Konawe Utara, kasus tersebut ibarat teori gunung es karena persoalan eksploitasi mineral nikel adalah sebuah drama besar tentang SDA yang luar biasa  dikeruk dengan keterlibatan banyak pihak dari segala penjuru angin.  

Begitu banyaknya “tangan-tangan” kekuasaan yang legal, abal-abal, bahkan “jin dan jun” berebutan  untuk mengambil peran dan partisipasi menggunakan kata “koordinasi.” Permainan akrobat sejak di hulu hingga hilir adalah medan transaksional dengan menggunakan hitungan kurs dollar.  

Peran pemeritah sebagai regulator juga bermain tarik ulur. Dulu kewenangan keluarnya IUP berada di kabupaten, dampaknya terjadi tumpang tindih lahan. Kemudian kewenangan tersebut ditarik ke provinsi dengan misi khusus untuk penertiban dan singkroninasi, tapi akhirnya ditarik ke pusat.  

Dari aspek politik kebijakan timbul pertanyaan tentang UU otonomi daerah, tetapi nampaknya tidak begitu dipersoalkan karena sudah dianggap biasa-biasa saja pemerintah menerapkan aturan gaya “pingpong” kewenangan. 

Sekjen APNI Meidy katrin sempat mengatakan bahwa “kalau bicara mengenai dirty nickel ada benarnya bahwa industri hulu-hilir banyak yang belum melakukan praktik- praktik sustainble and good mining practice.” Kondisi ini diperparah dengan maraknya kegiatan penambangan ilegal. 

Di balik hiruk-pikuk bongkar muat ore untuk mensuplay pabrik-pabrik smelter besar, ternyata menyimpan cerita tragedi luar biasa dan menjadi cerita konsumsi umum yang diketahui. 

Kepemilikan IUP sebagian besar para pemilik modal dan kedudukan tingkat “langitan” dan pasti bukan warga Sultra. Posisi IUP sebagian besar berada di atas lahan masyarakat, bagaimana hubungan kerja pemilik IUP dengan pemilik lahan?

Juga sebagian besar pemilik lahan tidak memiliki daya tawar yang seimbang karena dasar kepemilikan mereka hanya tanda-tanda tanaman dan SKT dari desa. Boleh dikatakan hasil manisnya nikel yang menikmati adalah pemilik IUP, kontraktor mining, trader, broker, jasa angkutan/alat berat, shiping dan pabrikan.  

Tapi menurut info dari jin dan jun penikmat lain yang tidak kalah hebatnya adalah kekuasaan di luar “ring” atau di luar ekosistem tapi bayang-bayang kewenangannya luar biasa, justru peran mereka ini sehingga timbul begitu banyak istilah keren misalnya, koordinasi. Ini maksudnya multi tafsir bisa karena itu lahan koridor atau celah antara tikor IUP, bisa juga artinya ada yg backup lalu timbul istilah dokter atau dokumen terbang. 

Aktivitas lainya yang juga cukup menggiurkan adalah broker jual beli IUP di warung-warung kopi, sudah banyak yang menjadi korban penipuan kehilangan DP. 

Tulisan ini tergolong tanpa struktur karena lompat sana lompat sini, seperti implementasi ilustrasi bijaksana dan bijaksini aturan main dunia tambang nikel. Kendati demikian sesuai mimpi besar  industri hilirisasi nikel akan mewujudkan nilai tambah sekian kali lipat agar bisa dinikmati masyarakat. Masyarakat pemodal tentunya.  

Data BPS untuk urutan kabupaten/kota terkaya se Sulawesi terdapat 15 kabupaten/kota, terkaya pertama adalah kabupaten Morowali dengan jumlah PDRB Rp. 375.0967.000 dengan jumlah penduduk 119.292.00, serta terkaya ke 15 Kabupaten Konawe Utara dengan jumlah PDRB Rp. 61.833.000, dengan jumlah penduduk tahun 2019 sebanyak 68.515 Jiwa.  

Data BPS ini tidak relevan untuk menanyakan nasib bapaknya La Bio yang hidupnya sebagai pengambil rotan di hutan yang tersenyum kecut meliat hutan-hutan menghijau tiba-tiba berubah menjadi lahan terbuka bebas oleh mesin-mesin alat berat dan anaknya La Bio adalah operator yang digaji oleh kontraktor mining. Rasanya sulit menemukan putra asli lokal sebagai juragan tambang nikel di daerah penghasil tersebut. 

Pikiran naif penulis terbentur pada fakta atau patamorgana tambang untuk kesejahtraan masyarakat Sultra? Booming nikel terasa jadi boomerang bagi warga asli karena banjir yang membawa bencana. Banjir mengahancurkan cita-cita untuk cucunya bapaknya La Bio. Lahan untuk pertanian telah berubah menjadi lahan  “emas” bagi pemilik modal besar karena nikel, tapi bapaknya La Bio hanya bisa meratapi dari dalam rumahnya yang berdinding bahan bambu. 

Bagaimanakah nasib bapaknya La Bio yang lain? Penulis termenung dan tiba-tiba terguncang dalam mobil avanza karena jalan di sekitar Morosi yang bergelombang. Penulis meliat partikel debu berwarna abu-abu gelap keluar dari cerobong tungku pembakar nikel dari smelter yang ada di Morosi, 24 jam nontsop mengeluarkan asap melambung ke langit, karena pembakaran menggunakan batu bara. Kenyataan ini sungguh bertentangan dgn konsep investasi global yang berorientasi penambangan berkelanjutan. 

Kebijakan investasi yang tidak mematuhi ketentuan prinsip ramah lingkungan menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan jadi gula-gula manis pengambil kebijakan tetapi sisi lain menghancurkan ekosistem dalam jangka panjang serta mudarat kapitalis menggilas masyarakat lokal. Sementara di sana, pemodal besar lagi menikmati coffee latte atau cappuccino di kota-kota besar. 

Tertitip salam buat Bapaknya La Bio dari desa?  

Akhh, sebentar lagi pilkada pesta demokrasi 2024, pasti bapaknya La Bio dapat baju kaos gambar para calon gubernur, calon presiden dan calon bupati serta “serangan fajar” atau bagi-bagi sembako. Sejenak bapaknya La bio senang mendapat hadiah dengan iming-iming janjimu kutaroe, yang tidak terpikirkan bapaknya La Bio bahwa hadiah tersebut hasil eksploitasi  nikel di kampungnya yang jadi tanah merah meranah tanpa topsoil untuk bisa ditanami. Begitulah kisah sekelumit tragedi nikel di kampungku. Kambondo deelaa. *** 

  • Bagikan