Kisah aspal Buton nyaris seperti dongeng pengantar tidur, timbul tenggelam sepanjang waktu. Puluhan tahun cerita aspal buton hanya ada di buku-buku pelajaran dan hanya menjadi petunjuk di benak kebanyakan orang Indonesia untuk mencari tahu, di mana letak Pulau Buton, daerah penghasil aspal. Coba saja, banyak orang di luar Sultra yang lebih mudah mengingat Buton dengan image aspal-nya daripada mengingat Kota Kendari ibu kota Provinsi Sultra.
Terungkap ada kekeliruan pemahaman tentang penggunaan aspal buton selama ini. Seolah-oleh negara ini telah memakai aspal Buton sejak lama, ternyata yang dipakai BGA, LGA, Buton Granular Asphalt (BGA), Lawele Granular Asphalt (LGA), dengan Butonas. Diadopsi oleh APBN lewat jalan nasional. Tapi keliru, sebenarnya orang lihat Aspal Buton sudah dipakai, tapi potensinya sebesar apa dipakai. Lalu tujuannya dipakai untuk apa? Ternyata dipakai untuk adiktif, karena hanya 3 persen pemakaian.
Nah sementara jalan APBN, dari kurang lebih 400 ribu kilometer ruas jalan di Indonesia, porsi jalan APBN hanya tujuh persen. Kalau tujuh persen, Aspal Buton hanya dipakai tiga persen. Artinya satu tahun hanya 5.000 ton. Jumlah itu dalam Bahasa putra Buton, Samsu Umar Abdul Samiun-yang lebih akrab disapa Umar Samiun “tidak ada gunanya” karena hanya mengkamuflase saja bahwa kita sudah pakai Aspal Buton. Padahal, deposit aspal buton ada dalam ukuran jutaan ton dan bahkan digambarkan sulit untuk habis.
Harapan besar menancapkan bendera kejayaan aspal buton kini ada, salah satunya ada di pundak Umar Samiun setelah baru-baru ini pemerintah pusat mewacanakan optimalisasi aspal buton.
Optimisme Umar Samiun begitu berapi-api menjelaskan aspal buton. Menurutnya, kisah aspal buton bisa ditarik ke belakang di era Kesultanan Buton yang sudah bekerja sama dengan Belanda di tahun 1927. Saat Belanda pergi, usaha itu kemudian dinasionalisasi menjadi Perusahaan Aspal Negara.
Di era Orde Baru, aspal buton digunakan di seluruh wilayah Indonesia, Sabang sampai Merauke. Sampai kemudian di tahun 1980, aspal buton mulai memasuki masa kelam karena dihadapkan pada kebijakan penggunaan aspal impor.
Jauh sebelum Umar menjabat sebagai Bupati Buton, pemikiran tentang aspal buton terus berkecamuk. Kenapa dulu aspal Buton tidak dipakai? Apa penyebabnya? Nah alasan normal, biasa saja, karena kualitasnya, mutunya kurang bagus sehingga kita butuh aspal impor. Tapi Umar bangkit menantang, apa masalah aspal buton? sementara aspal impor sejatinya adalah limbah?
Jadi yang kita beli selama ini sebenarnya limbah. Limbah kemudian disebut residu. Kan di luar, negara-negara Timur Tengah sana, lewat Pasar Singapura mereka menambang minyak. Residu limbahnya aspal. Di situ ada bitumen, enam sampai tujuh persen. Mereka ekplorasi kemudian diekstrak, jadilah aspal minyak. Sementara di Buton, saat menambang aspal, kita bisa menghasilkan 20 persen minyak dari hasil ekstrasi aspal buton.
Dibenak Umar tidak mungkin limbah mengalahkan aspal alam. Tapi ini faktanya kenapa tidak dipakai. Referensi yang muncul kemudian adalah aspal buton diperlakukan dengan cara tidak benar. Misalnya, ditambang kemudian digelar langsung di jalan. Dampaknya masih banyak unsur lain yang melekat, ada tanah, kapur, air. Belum terproses, sementara aspal minyak sudah ekstrak. Kalau bicara kualitas, sebenarnya memang betul, ya. Tapi perlakuan pemerintah yang tidak pas terhadap aspal buton.
Di sini Umar mulai bergerak mencari jalan keluar. Tantangan yang muncul adalah mencari solusi untuk melakukan ekstraksi aspal buton. Saat itu belum ada teknologi untuk menjalankan proses ekstrak bahan baku, kemudian di-mixing, lalu mensejajarkan dan bahkan melampaui kualitas aspal impor.
Dari tahun-tahun Umar Samiun mencurahkan kemampuannya untuk mencapai hasil yang diiinginkan. Merangkul para akademisi dari universitas ternama seperti ITB dan ITS melakukan penelitian kemudian memberikan harapan menjanjikan.
Saat menduduki kursi Bupati di tahun 2012 pencapaian riset aspal buton sudah sangat menggembirakan. Umar Samiun tegas mengharamkan aspal minyak masuk ke Buton. Mereka sudah menemukan produk disebut Cold Paving Hot Mix Asbuton (CPHMA). CPHMA atau campur panas hampar dingin, spesifikasinya 73 persen batu, 25 raw aspal, 2 persen modified-nya.
Meski sempat berhadapan dengan birokrasi yang rumit, Umar membuktikan bahwa kualitas aspal buton lebih tinggi, mutunya jauh lebih bagus, dan lebih murah. Murah, karena semua alat-alat produknya semua dari dalam negeri. Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih dahulu menjadi pilot project Umar, sampai kemudian SNI mengukuhkan bahwa aspal buton sangat layak digunakan pada jalan dengan lalu lintas padat. Berarti jalan provinsi dan jalan nasional bisa mengandalkan aspal buton.
Umar sadar jaringan penjualan aspal minyak sudah ‘menggurita’ di Indonesia, seperti mafia yang terus mengintai perkembangan riset dan aplikasi aspal buton. Saat waktu Umar Samiun kemudian menembus Istana untuk melaporkan pencapaian aspal buton kepada Presiden Jokowi. Hasilnya, saat bertemu di Istana Bogor Presiden merespon luar biasa dan memerintahkan memerintahkan Menseskab waktu itu Andi Wijoyanto, Menko Ekuin, Sofyan Djalil untuk membuat rancangan peraturan pemerintah terhadap pemakaian aspal buton secara nasional.
Perjalanan kemudian tidak semulus yang diharapkan, regenerasi di tingkat menteri dan dugaan kuat Umar tentang mafia aspal minyak yang terus bergerak menghadang aspal buton masih terjadi. Secara internal, Umar mengakui di posisi saat itu kita memakai aspal raw 23 persen, campur batu 75 persen, dan modifier-nya 2 persen. Sementara aspal minyak hanya pakai 94 persen batu, dan 6 persen minyak langsung didorong, di-mixing, di AMP, keluar. Tim riset kemudian kembali bekerja untuk menyelesaikan masalah aspal buton agar memiliki kualitas yang lebih baik.
Hasil sementara CPHMA tidak memuaskan Umar, masih ada komponen penting yang dibutuhkan untuk melawan mafia aspal minyak, yaitu keberpihakan aturan. Umar memilih kata mendobrak sambil menuntaskan riset untuk ekstraksi aspal buton yang lebih baik dan berhasil. Riset ekstraksi 100 persen berujung pada kualitas yang sejajar dengan aspal minyak. Di titik ini, Umar menguji nasionalisme bangsa ini dengan mensejajarkan harga aspal buton dengan aspal impor, mana yang akan dipilih? Lengkap dengan fakta bahwa aspal buton berkualitas jauh lebih tinggi.
Angin segar kembali datang dari Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan di bulan November 2020. Aspal buton disebut sebagai salah satu aspal paling berkualitas tinggi dan pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan produksinya secara berkesinambungan untuk mendukung pembangunan infrastruktur nasional. Gubernur Sultra Ali Mazi juga sudah berkomitmen agar aspal buton di tahap awal digunakan sepenuhnya di Sultra.
Artinya sekali lagi, komitmen pemerintah pusat diharapkan berpihak pada aspal buton, mulai dari APBN. APBN tidak boleh lagi pakai BGA. Jangan lagi pakai LGA, Butonas. Yang dipakai CPHMA. Kenapa dipakai CPHMA? Karena kebutuhan aspal Butonnya besar, 25 persen. Kalau misalnya sekarang ada cadangan pakaian APBN dipakai APBN 2.000 kilometer misalnya, kalau pakai BGA, LGA paling hanya berapa ribu ton saja. Misalnya kalau sekitar 3 persen, sekitar 5.000 ton sampai 10 ribu ton. Tapi kalau pakai CPHMA kurang lebih 250 ribu ton.
250 ribu ton sudah cukup besar, satu. Yang kedua, Permendagri sudah dikeluarkan Pak Tito, lalu Kementerian Perdesaan dilibatkan oleh Pak Luhut dan dipenetrasi harus pakai, artinya prioritas jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan perdesaan, jumlahnya 400 ribu kilometer.
Artinya berapa banyak kebutuhan yang akan dipakai aspal buton, antara 4 sampai 5 juta ton. Anda bisa bayangkan, kalau 4 sampai 5 juta ton sudah memenuhi kebutuhan nasional. Karena aspal impor dengan aspal raw Buton, satu banding tiga, atau satu banding empat.
Artinya 1,5 juta ton sampai 2 juta ton per tahun, kita beli aspal di luar dengan kira-kira 1 miliar USD, cukup banyak. Setara kurang lebih Rp 14 sampai Rp 15 triliun, diganti dengan aspal kira-kira hanya 5 juta ton. Kenapa tidak belanjakan di Buton? Kenapa belanjakan di Singapura? Padahal kualitas kita lebih tinggi, harga lebih murah, dan mudah kita dapatkan, tidak ke mana-mana. Hanya harus ke Buton.
Jadi kalau misalnya pemerintah hari ini memakai aspal buton, kita bisa bayangkan kurang lebih Rp 15 trilun dana belanja pemerintah sudah bergerak ke Buton. Bayangkan efek ekonominya. Umar berharap, khususnya kabupaten/kota kalau didistribusi secara keseluruhan kita butuh 4 sampai 5 juta ton, pertanyaan kemudian yang muncul apakah Buton sudah siap? Sudah sepenuhnya siap, karena yang dipakai raw.
Kita punya aspal dalam rekaan geologi Belanda, masih peta Sabuk Aspal Buton, kurang lebih 4 sampai 6 miliar ton. Umar sendiri mengakui membangun satu perusahaan, kurang lebih 100 hektare, 300 juta ton, kalau hanya diambil 5 juta ton, itu ukuran kebutuhan yang sangat kecil.
Proses pendistribusi juga sudah digambarkan. Arus pendisribusian keluar masuk barang setelah diukur cukup menyakinkan. APBD Kabupaten Buton sendiri dipandang mampu untuk menambah panjang pelabuhan.
Dedikasi Umar Samiun sebagai pemerhati aspal buton kini berada di puncak. Bersama putra-putra bangsa dari ITB dan ITS sudah menghadirkan teknologi yang jauh lebih hebat dari pada teknologi yang sekarang masuk dari Cina.
Membandingkan dengan sumber daya alam lain di Sultra yang kini menjadi primadona, yaitu nikel, Umar menyayangkan karena seluruh manajemen dikuasai oleh pihak lain. Kenapa? Karena teknologinya mereka kuasai.
Kemampuan penguasaan teknologi ini sekaligus akan menjawab keraguan pemerintah provinsi, kabupaten/kota seluruh Indonesia yang belum betul memahami sebetulnya untuk memakai CPHMA, apa yang mereka dipersiapkan di daerahnya? Masing-masing daerah sudah punya AMP. Umar memberikan garansi, tim teknisinya mampu melakukan memodifikasi AMP. Cepat, hanya butuh dua hingga tiga jam selesai.
Penulis: AS Amir