Dugaan Mafia Resep Obat, Ini Tanggapan RSUD Muna

  • Bagikan
Ilustrasi obat. shutterstock
Ilustrasi obat. shutterstock

SULTRAKINI.COM: MUNA – Terkait adanya dugaan mafia resep obat, Pelaksana Tugas (Plt) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Muna, Sitti Marwia, mengatakan jika ada oknum PNS baik dokter maupun staff yang melanggar standard operating Procedure (SOP) saat menjalankan tugas, secara prosedural pihaknya tidak dapat memberi sanksi melainkan bersurat ke Dinas Kesehatan (Dinkes) Muna selaku pimpinan yang mengeluarkan nota tugas.

“Dinkes Muna yang punya wewenang untuk memberikan sanksi terkait ulah oknum dokter karena bicara prosedur kita harus bersurat ke Dinkes yang mengeluarkan nota tugas,” katanya saat ditemui SultraKini.Com di RSUD Muna, Kamis (21/3/2019).

Marwia menambahkan, pihaknya telah memanggil dokter poli penyakit dalam, dr. Wahid untuk mengklarifikasi terkait dugaan mafia resep obat tersebut, dimana hasilnya antara pasien dan dokter sudah terjalin kesepakatan sebelum dilakukan pembelian resep obat di luar apotik rumah sakit.

Namun menurutnya telah berlaku aturan di RSUD Muna dimana semua ruangan disampaikan bahwa pasien peserta BPJS tidak boleh diresepkan obat di luar apotik rumah sakit, andaipun ada harus satu pintu yakni melalui copy resep apotik rumah sakit.

“Sebenarnya resep obat di luar apotik rumah sakit itu tidak dibenarkan karena rumah sakit sudah menyediakan obat-obatan. Mungkin ada pertimbangan lain dari dokter tapi untuk lebih jelasnya silahkan konfirmasi langsung ke dr. Wahid,” ujarnya.

Dokter Poli Penyakit Dalam RSUD Muna, dr. Wahid, mengatakan terkait dugaan mafia resep obat atau pembelian obat di luar apotik rumah sakit karena adanya perbedaan persepsi, dimana pendapat ahli yang terbangun secara empiris telah diakui dalam pelayanan medis karena berbasis bukti (Evidence Base Medicine).

“Kadang saya keluarkan pendapat kalau pasiennya kritis karena hasil obotkan tenaga kesehatan lain sebelum masuk RSUD. Kalau keluarga setuju dibuktikan dengan permintaan tertulis direkam medis pasien dan mencantumkan nama dan nomor telepon,” jelasnya.

Diakuinya tidak mengetahui jika resep obat yang diarahkannya tidak melalui copy resep apotik rumah sakit serta tidak pernah mengarahkan keluarga pasien untuk membeli obat diapotik miliknya.

“Saya tidak tahu karena saya cuma menuliskan resep obatnya terus pergi cek pasien lain, saat itu perawat jaga yang memberikan resep obat kepada keluarga pasien,” ungkapnya.

Menurutnya, resep obat Fiopraz yang dibandrol Rp 170 ribu per 40 mil gram itu merupakan harga normal sama dengan yang dijual diapotik lain jika melalui resep dokter, berbeda jika dibeli bebas harganya hanya Rp 137,5 ribu.

“Harganya tidak selangit itu sudah normal ada perbandingan harga karena obat garis merah atau harus melalui resep dokter itu ada tips buat apotekernya sehingga adanya perbedaan harga,” pungkasnya.

Laporan: Arto Rasyid
Editor: Habiruddin Daeng

  • Bagikan