PNS dan Aparat Desa di Buton Berpotensi Terlibat Politik Praktis

  • Bagikan
Ketua Bawaslu Sultra, Hamiruddin Udu (Kemeja Batik) saat berpose bersama usai pelantikan Anggota PPL di Pasarwajo, Minggu (4/9/2016). Foto: La Ode Ali / SULTRAKINI.COM

SULTRAKINI.COM: BUTON – Hasil identifikasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menyebutkan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Aparat Pemerintah Desa di Buton berpotensi terlibat dalam kegiatan politik praktis dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Buton 2017.

Diungkapkan Ketua Bawaslu Sultra Hamiruddin Udu, saat ditemui di Pasarwajo, Minggu (4/9/2016), politik uang atau money politic juga berpotensi terjadi di daerah, oleh oknum untuk memenangkan pasangan calon yang didukungnya.

“Dari hasil kajian kami di Bawaslu, PNS dan Aparat Desa itu berpotensi terlibat dalam politik praktis, begitupula dengan Money Politic,” ungkapnya saat ditemui usai menghadiri pelantikan Anggota Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) se – Kabupaten Buton di Gedung Wakaka, Pasarwajo.

Bentuk keterlibatan PNS dan aparat Desa dalam politik praktir di PIlkada, kata Hamirudin, antara lain menggunakan fasilitas pemerintah seperti dana bantuan sosial (Bansos).

“Bentuknya kemudian macam-macam, bisa menggunakan fasilitas pemerintah dengan bantuan sosial seperti dana desa, bantuan sosial seperti bedah rumah, strom babi atau pupuk, jadi potensinya itu bisa ada disitu, bisa juga sumbagan dari para pengusaha, di Buton ini ada pengusaha tambangkan, itu juga potensi,” jelasnya.

Terkait money politic, lanjut Hamiruddin, tidak hanya terjadi di wilayah Kabupaten Buton. Dari hasil kajian dan anlisa Bawaslu pada Pemilu sebelumnya, potensi politik uang hampir terjadi di semua kabupaten/kota di Sultra.

Untuk itu pihaknya berharap seluruh elemen masyarakat, mulai dari tokoh masyarakat, adat, agama, media, serta tim sukses Paslon juga pemangku kepentingan dapat bersama mengawasi hal tersebut, sehingga tercipta iklim demokrasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Kita berharap kepada masyarakat secara keseluruhan jangan kita jual suara kita hanya karena uang Rp100 ribu atau Rp200 ribu, karena tidak menuntut kemungkinan hanya karena uang itu akan berdampak pada daerah selama 5 tahun , kemudian kepada para peserta pemilu mari bermain fair sehingga ketika duduk disitu memiliki legalitas dan legimitasi di masyarakat,” pungkasnya.

  • Bagikan