Koran Bekas di Lebaran

  • Bagikan
Halaman masjid yang dijadikan tempat salat Idul Fitri 1442 H di Kendari. Tak ada tumpukan koran bekas lagi.
Halaman masjid yang dijadikan tempat salat Idul Fitri 1442 H di Kendari. Tak ada tumpukan koran bekas lagi.

Catatan: M Djufri Rachim (Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia Sulawesi Tenggara/Pemred SultraKini.com)

ERA digital telah mengubah segalanya. Semua berubah dengan cepat dan tak seorang pun sanggup menghentikannya, melainkan harus segera beradaptasi.

Beberapa tahun lalu, jika Anda hendak berangkat ke luar kota maka paling lambat sehari sebelumnya sudah harus antri di travel untuk membeli tiket pesawat.

Waktu itu, jika ingin membayar tagihan listrik, tagihan telepon, dan berbagai pembayaran lain harus berdesak-desakan antri di loket.

Saat itu pun, jika ingin makan nasi kuning, Anda harus bergegas ke daerah bundaran Mandonga, itu pun masih menunggu jemputan taksi. Buka pintu langsung meteran tarif terbaca. Mata kita pun selalu awas pada lompatan-lompatan angka rupiah di sana. Tarif mengikuti perputaran ban taksi yang ditumpangi.

Dan masih banyak lagi aktivitas lain, yang dilakukan serba manual. Walau pun pada zamannya semua itu kita rasakan tidak masalah. Nyaman-nyaman saja. Terindah pada masanya.

Era digital telah datang. Belum ada tanggal pasti soal dimulainya era ini. Jelasnya, era digital ditandai dengan hadirnya new media (media baru) yang telah menggeser penggunaan media lama dalam segala aktivitas manusia.

Media baru merupakan perpaduan teknologi komputer dan internet. (Kebanyakan) dibungkus dalam kemasan mungil berupa smart phone. Booming dalam sepuluh tahun terakhir. Walau komputer sendiri ditemukan sejak tahun 1822 dan internet pada tahun 1969.

Melalui media baru, tiket pesawat dibeli dengan mudahnya. Tagihan listrik, telepon, asuransi, dan aneka tagihan lain dapat terselesaikan sambil duduk ngopi di teras rumah sendiri, atau di atas tempat tidur sekali pun, sambil menunggu antaran nasi kuning yang dipesan melalui online dan diantar oleh taksi online.

Umur manusia harusnya tambah panjang, karena hidupnya tidak susah lagi. Semuanya cukup digerakan oleh satu dua jari tangan. Tapi itu, logika terbalik. Karena badan sudah kurang gerakannya maka mudah sakit-sakitan. Kurang gerak, membuat proses metabolisme melambat dan mengurangi kemampuan tubuh mengontrol kadar gula darah, tekanan darah, dan memecah lemak. Itulah umur bukan tambah panjang.

Media baru juga telah mengubah dua hal mendasar pada dunia jurnalisme. Pertama dari sisi jurnalis (wartawan). Dulu orang yang mempunyai hak prerogative menenteng kamera dan menulis berita adalah jurnalis. Tetapi saat ini, siapa pun dia bisa menjadi jurnalis. Ketika ada kecelakaan di pinggir jalan, misalnya. Ada di antara warga bukannya menolong, melainkan mengeluarhan HP lalu merekam dan menyebar ke media sosial (media baru). Lahirlah istilah jurnalisme warga (citizen journalsm).

Perubahan kedua dari sisi media. Dulu kita hanya mengenal dua kategori media, yakni media cetak (koran, tabloid, atau majalah), media elektronik berupa radio dan televisi. Kini ketambahan satu jenis media yang lebih dikenal dengan istilah media online.  Tapi oleh negara yang diwakili Dewan Pers, media massa terakhir ini diberi nomenklatur sebagai media siber (situs berita).

Kehadiran media generasi ketiga ini berbeda dengan munculnya media televisi saat itu, bisa berjalan akur dengan radio dan media cetak yang jauh sebelumnya sudah eksis. Media online justru mengancam jiwa media lama.

Melalui media online, kita bisa menikmati konten teks dan foto kejadian lebih cepat dari pada koran yang harus menunggu besok. Sedangkan siaran televisi dan radio bisa dinikmati berulang melalui media online.

Semua itu memungkinkan karena radio dan televisi, seperti halnya penjual nasi kuning, juga sudah beradaptasi dengan media baru. Menyediakan kontennya secara online.

Sedangkan koran yang mengadaptasi cetakan kertas ke bentuk PDF, tidak bisa bersaing dengan kecepatan media siber. Sehigga harus ketinggalan kereta.

Maka kemudian tercatatlah sejumlah media cetak besar dunia harus “mati”, mesin cetaknya dijual dan bisnisnya diubah ke media online (siber). Misalnya, Surat Kabar Tribune yang pailit pada akhir tahun 2008 karena menurunnya pendapatan iklan. Atau Majalah Newsweek mengakhiri edisi cetaknya pada akhir 2012, setelah 80 tahun lebih melayani berita bagi warga Amerika Serikat.

Bahkan, koran tertua di dunia Lloyd’s List yang berdiri tahun 1734 harus tutup usia pada Desember 2013. Pembaca koran cetak ini beralih ke digital, demikian hasil survey yang menjadi alasan manajemen menutup korannya, setelah terbit 280 tahun.

Di Indonesia pun demikian. Koran tua, Sinar Harapan, yang berdiri tahun 1961 telah tutup pada akhir 2015 silam. Media cetak Indonesia yang ikut tutup, diantaranya The Jakarta Globe, Koran Tempo Minggu, dan Harian Bola. Semua penutupan itu atas alasan jumlah pembaca semakin melorot yang berimplikasi pada pendapatan iklan. Sementara jantungnya media adalah iklan.

Gugurnya media cetak itu disebut oleh PricewaterhouseCoopers dalam Perspective from the Global Entertaiment and Media Outlook 2017 bahwa laju global pertumbuhan koran dalam lima tahun ke depan adalah minus 8,3% sedangkan berbasis internet tumbuh 0,5 sampai 6%.

Entah dengan media cetak di daerah. Saya tidak tahu lagi perkembangannya karena sudah meninggalkannya sejak sepuluh tahun silam. Beralih ke media online (siber). Sejak tahun 2009 telah saya pelopori kelahiran media online di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kini media online di daerah terus bertumbuh di seluruh Indonesia.

Di Indonesia jumlah media online mencapai 43.300. Itu pun data tahun 2017. Entah sekarang, tahun 2021 pasti jauh lebih banyak lagi. Karena di Sultra sendiri sudah di atas 100 jumlahnya, walau pun yang eksis tidak sampai 20 media.

Bahwa koran di daerah juga sudah “tertindas” oleh media online, belum saya dapatkan hasil riset ilmiahnya.  Namun beberapa indikasi terkuat yang saya curigai, misalnya sudah tidak ada penjaja koran di lampu merah (traffic light).

Indikator lain, bahwa koran di daerah juga sudah redup tatkalah kita sembahyang Idul Fitri di lapangan atau di halaman-halaman masjid.

Di halaman masjid tempat saya salat Idul Fitri 1442 H (13 Mei 2021), para jamaah rata-rata membawa kardus bekas kemasan atau flexy (kain spanduk/banner) bekas untuk alas tikar sembahyang. Berbeda dengan kebiasaan dulu, semua beralaskan kertas koran bekas.

Kini, ketika salat Ied selesai, halaman tempat salat pun langsung bersih. Mereka membawa pulang kembali flexy yang digunakan, melainkan koran bekas yang masih ada satu dua lembar yang ditinggalkan.

Entah pada lebaran tahun depan, apakah sudah bersih total dari sampah kertas bekas koran? Wallahu A’lam Bishawab. ([email protected])

  • Bagikan