SULTRAKINI.COM: Aksi besar-besaran menolak praktik politik dinasti menjelang Pemilihan Presiden 2024 tengah menggema di Sulawesi Tenggara. Mahasiswa dari berbagai kampus di Kendari, termasuk Universitas Halu Oleo dan perguruan tinggi swasta, bergerak secara serentak membagikan stiker dan mengajak masyarakat untuk menolak calon dari latar belakang politik dinasti. Aksi serupa juga terjadi di Universitas Muhammadiyah Buton, Kota Baubau, dan Universitas Karya Persada Muna di Raha.
Lebih dari 800 kampus di 35 provinsi di Indonesia diklaim telah bergabung dalam aksi serupa, meski dengan pendekatan yang berbeda.
Dalam seruan mereka, mahasiswa mengkritik Pilpres 2024 yang dianggap diwarnai politik dinasti, mengancam integritas demokrasi di Indonesia. Mereka tidak hanya menyampaikan pesan ini kepada kalangan akademis, tetapi juga kepada masyarakat luas.
Di Jakarta, mahasiswa dari berbagai universitas, termasuk Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, turut andil dalam gerakan ini pada Kamis (11 Januari 2024), menyebarkan materi kampanye anti-dinasti di area publik.
“Kami menolak praktik politik dinasti dan mengajak masyarakat untuk tidak mendukung calon dengan latar belakang tersebut,” ujar Glamora, perwakilan mahasiswa.
Dalam materi kampanye yang dibagikan, terdapat kumpulan data dan fakta sejarah sebagai basis argumentasi. Mahasiswa juga menuntut netralitas dari Presiden Joko Widodo, ASN, TNI-Polri menjelang pemilu untuk menghindari kecurangan dan keberpihakan yang tidak adil.
Tidak hanya di dalam negeri, isu politik dinasti ini menarik perhatian media internasional. The New York Times, misalnya, mengulas potensi terbentuknya dinasti Presiden Joko Widodo melalui pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024.
Ambang Priyonggo, pengamat media dan politik dari Universitas Multimedia Nusantara, menekankan pentingnya kesetaraan dan keadilan dalam akses berpolitik. Dia mengkritik perubahan dalam Undang-Undang Pemilihan Umum yang memungkinkan kepala daerah maju dalam pemilihan presiden tanpa memenuhi batas usia tertentu, mengindikasikan ketidakstabilan demokrasi di Indonesia.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan kepala daerah maju di pemilihan presiden di bawah usia 40 tahun menuai kontroversi. Banyak yang berpendapat bahwa keputusan ini seharusnya menjadi wilayah pembentuk undang-undang dan menilai MK telah melampaui kewenangannya.
Aksi pembagian poster dan kampanye ini merupakan bagian dari rangkaian penolakan terhadap politik dinasti di Indonesia. Aksi serupa yang lebih besar direncanakan akan terpusat di satu titik, sebagai bentuk eskalasi dari gerakan ini.
Laporan: Frirac