Warga Kecamatan Pasir Putih di Muna Bayar Rp 250 Ribu Jika Urus PTSL, Katanya Tanda Terima Kasih?

  • Bagikan
Ilustrasi.

SULTRAKINI.COM: Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) 2021 oleh Badan Pertanahan Nasional diprogramkan gratis bagi masyarakat. Program ini juga masuk ke Kecamatan Pasir Putih, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Namun, kesan gratis berbuntut kekecewaaan masyarakat lantaran adanya pungutan senilai Rp 250 ribu perkapling.

Kuota PTSL 2021 didapatkan Kecamatan Pasir Putih, Kabupaten Muna sekitar 1.000 bidang sertifikat. Dalam perjalanan program ini, muncul pungutan senilai Rp 250 ribu yang disebut sebagai biaya administrasi. Nominal ini kabarnya berdasarkan hasil kesepakatan yang melibatkan Camat Pasir Putih, LM. Aziswan beserta ketua Badan Permusyawaratan Desa dan semua kepala desa di kecamatan itu dalam sebuah rapat.

Soal biaya administrasi ini pernah dibicarakan lewat rapat sosialisasi awal program tersebut pada masyarakat dan diusulkanlah Rp 150 ribu, tapi ini belum ada kesepakatan akhir bersama masyarakat.

Duit Rp 250 ribu itupun menuai protes dari sejumlah warga hingga mengundang demonstrasi di Kantor Camat Pasir Putih pada 3 Agustus 2021 untuk mempertanyakan PTSL yang disebut gratis.

“Informasi yang beredar sepengetahuan masyarakat gratis, (itulah) kenapa masyarakat berbondong-bondong urus sertifikat. Ternyata setelah pengukuran membayar perkapling itu Rp 250 ribu, masyarakat jadi bingung, pembayaran tersebut sumbernya dari mana tapi lagi-lagi masyarakat ada beberapa pertanyaan yang tidak bisa diungkapkan,” jelas Koordinator lapangan demonstran, Leonardo, Rabu (4/8/2021).

Leonardo merasa kecewa karena di balik program PTSL itu ada administrasi Rp 250 ribu. Menurutnya, apabila program PTSL membebankan masyarakat dengan biaya tersebut, perlu adanya sosialisasi secara merata sehingga tidak menimbulkan miskomunikasi.

Dari demonstrasi warga lalu muncul pembicaraan bahwa biaya administrasi diminta warga tetap Rp 150 ribu perkapling sebagaimana usulan pada rapat awal. Namun Pj Kepala Desa Pola yang juga Camat Pasir Putih, LM. Aziswan tidak setuju. Administrasi harus Rp 250 ribu.

“Dia (Pj Kepala Desa Pola) menjawab tidak bisa, harus Rp 250 ribu dengan catatan bagi masyarakat yang tidak mampu maka bayar semampunya dan menghadap sama dia,” terang Leonardo menceritakan hasil pertemuan sewaktu demo.

Ditambahkan Saharudin juga warga Desa Pola, biaya Rp 250 ribu menjadi beban masyarakat terlebih di masa pandemi Covid-19 membuat masyarakat desa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga ia menolaknya.

“Saat ini lagi Covid-19, pendapatan masyarakat serba terbatas, untuk membiaya kehidupan sehari-hari setengah mati apalagi mau dibebani lagi dengan biaya sertifikat yang sebesar itu, saya selaku masyarakat menolak itu,” ucap Saharudin.

Untuk Apa Rp 250 ribu?

Pengakuan Pj Kepala Desa Pola yang juga Camat Pasir Putih, LM. Aziswan bahwa hanya sebagian kecil warga di Desa Pola menolak biaya administrasi yang dibebankan tersebut dalam pengurusan tanah melalui PTSL itu. Kata dia, biaya Rp 250 sebagai tanda terima kasih.

Menurutnya, biaya administrasi Rp 250 tidak memberatkan masyarakat. Meski di satu sisi ia mengaku tingkat ekonomi masyarakat di desa itu berbeda-beda, mulai dari tidak mampu, menengah, dan mampu.

“Uang 250 ribu itu dibayar di desa dan hanya sekelompok kecil yang komplain. Istilah pembayaran ini sebagai tanda terima kasih dan masyakarat yang tidak cukup uangnya untuk membayar sebesar yang ditentukan menemui saya dan bayar sesuai kemampuan, selanjutnya akan tetap dilakukan pengukuran tanah,” ucap Aziswan pada Sultrakini.com, Sabtu (7/8/2021).

Sejumlah warga juga sudah melakukan transaksi pembayaran tersebut di tingkat desa. Soal sosialisasi biaya administrasi, dirinya menyebut juga sudah dilakukan.

“Saat bersosialisasi ke masyarakat, tidak ada biaya hanya pengertian masyarakat tapi saat rapat se-kecamatan Pasir Putih, kita sepakat Rp 250 ribu perkapling dan di Desa Pola saya kasi bocoran biaya sertifikat tanah antara Rp 150 ribu, Rp 250 ribu dan Rp 350 ribu,” tambahnya.

Aziswan mengaku, biaya Rp 250 itu sebagai tanda terima kasih pada petugas BPN yang mengukur tanah warga dan biaya konsumsi seperti biaya makan dan lain-lain untuk petugas dari BPN maupun aparat desa yang turun langsung ke lapangan membantu warga melakukan pengukuran tanah.

“Kalau ada sisa, itu saya sisipkan untuk di masjid (Desa Pola) karena masjid kita itu kan masih butuh biaya. Tapi uang itu masih saya simpan sampai pengurusan sertifikat selesai. Jadi saya tahan dulu, Prona/PTSL ini hanya bunyi gratis tapi bayar untuk kebutuhan di lapangan,” kata Aziswan.

Jika dirincikan, biaya administrasi yang dikumpulkan untuk program PTSL 2021 sesuai kuota yang terima di Kecamatan Pasir Putih ada sekitar Rp 250 juta.

Sebelumnya diberitakan Sultrakini.com, Kepala Kantor BPN Kabupaten Muna, Rajamuddin, menerangkan program reforma agraria di wilayah setempat dari data dikumpulkan melalui pengukuran dan disidangkan panitia pertimbangan land reform yang dipimpin Bupati Muna, LM Rusman Emba, wilayah tersebut mendapatkan jatah 6.974 bidang sertifikat dari target tahun ini 4.650 bidang untuk redistribusi.

Sementara untuk redistribusi yang dilaksanakan hingga kini berada di Kecamatan Watopute, Bahutara, Baluara, Bone, Moolo, dan kecamatan lainnya. Sedangkan program PTSL sebanyak 2.324 bidang dan sekitar 700an sudah disertifikat untuk tahun anggaran 2021.

“Jumlah bidang tanahnya 2.324, sekarang sekitar tujuh ratusan sertifikat selesai untuk anggaran tahun 2021,” jelasnya.

Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sulawesi Tenggara, Iljas Tedjo Prijono juga menyampaikan program PTSL terdapat tiga kegiatan di Sultra, yakni peta bidang atau pengukuran sebanyak 77 ribu bidang, SHT penerbitan hak atas tanah pada 40 ribu bidang, serta K4 terdapat bidang-bidang tanah belum dipetakan dalam peta pendaftaran sebanyak 20 ribuan bidang.

“Untuk Kabupaten Muna, ada tiga kegiatan untuk tahun ini, yakni PTSL target 4 ribuan bidang, redistribusi sekitar 4 ribuan, kemudian sertifikat SHP mandiri. Semua kegiatan itu gratis untuk masyarakat,” ucap Iljas Tedjo Prijono, Kamis (22/4/2021).

Program PTSL diadakan lantaran lambannya pembuatan sertifikat tanah dan sering kali menimbulkan masalah. Di satu sisi, diharapkan ketika 2025 seluruh tanah di Indonesia memiliki sertifikat resmi. (B)

Laporan: Wa Rifin
Editor: Sarini Ido

  • Bagikan