Catatan Akhir Tahun: Drama Pilkada 9/12

  • Bagikan
Nasir Andi Baso
Nasir Andi Baso

Oleh: Nasir Andi Baso (Dosen Unsultra, Pengamat Kebijakan Publik dan Politik)

Pilkada pesta demokrasi rakyat telah usai dengan menyisakan beberapa catatan dramatis. Cerita masyarakat dengan berbagai bumbu memberi aroma tersendiri dan masih mewarnai di medsos. Cerita dan debat terbuka di ruang publik maupun medsos dalam menganalisis hasil pilkada tanggal 9 Desember kemarin rasanya belum basi untuk dikonsumsi oleh para pengamat dan masyarakat di akhir tahun 2020 yang sebentar lagi kita memasuki tahun 2021.

Permainan isue lokal dan gosip miring bernuansa primordial bahkan agitatif disetiap pilkada sering menjadi bola panas dan cenderung sulit diredam, karena  sebarannya dari mulut ke mulut lalu merambah ke medsos.  Pilkada level kabupaten/kota pengelolaan atau manajemen informasi rakyat dgn konten gosip miring disetiap daerah memiliki pola menarik. Contoh-contoh isue lokal yaitu terjadinya penzoliman terhadap wakil Bupati oleh Bupati, campur tangan istri Bupati terhadap berbagai kebijakan pemda, isue atau gosip tentang poligami, pembangunan infrastruktur, isue tentang putra daerah asli, isue tentang tambang nikel dan LH serta nilai rupiah “serangan” yang dulu disebut serangan fajar. Manajemen informasi rakyat dengan gaya pengelolaan tidak terstruktur tetapi berdampak massive terasa lebih tajam dan berakumulasi sentimen primordial lokal domestik.

Dari 7 Kabupaten di Sultra yang menyelenggarakan pilkada untuk memilih pemimpin di level kabupaten yaitu Bupati dan Wakil Bupati menarik untuk jadikan analisis politik praktis dengan berbagai perspektif. Pertama, tentang perang mesin parpol dalam meraih suara yang menentukan, yaitu sampai sejauh mana peran mesin parpol bekerja secara efektif dalam pilkada, selain sebagai salah satu syarat utama untuk menjadi kontestan atau kandidat adalah dukungan secara formal partai politik yang tentu tidak gratis, sehingga menimbulkan banyak konsekwensi logis yang sifatnya transaksional yang “wajar-wajar” saja dimata publik. Konsekwensi lain adalah proses berjibaku mendapatkan partai politik sebanyak mungkin atau sapu bersih seperti yang terjadi di daerah lain yang melahirkan kandidat melawan kotak kosong.

Kedua, tentang peran dukungan logistik. Peran logistik adalah keniscayaan dalam pemilu apapun, rasanya mustahil untuk memenangkan sebuah pertarungan politik sepanjang sejarah pelaksanaan pemilu tanpa dukungan logistik. Tetapi pertanyaan besarnya adalah keterbukaan yang terbuka bagi masyarakat seberapa besar setiap pasangan telah menyumbangkan atau menginvestasikan kepada publik ? Kalo pengeluaran itu sifatnya transaksi…yah hitungannya adalah jual beli. Besar kemungkinan akan ada kalkulasi remang-remang untuk nanti return on investmen, wajar saja diasumsikan seperti itu karena memang desain konstitusi pesta demokrasi kita bermuara kepada mashab kapitalis.

Ketiga, penomena pecah kongsi Bupati dan wakilnya. Ceritra dan tontonan pecah kongsi Bupati dan wakilnya dalam pilkada 9/12 kemarin adalah cerminan buruk sinergitas kepala daerah dan wakilnya yang gagal paham memaknai harmoni kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai paket sinergitas menyelenggarakan peran masing-masing. Drama pecah kongsi dan menjadi lawan politik pilkada 9/12 terjadi pada empat kabupaten dimana dua kabupaten Wakil Bupatinya menang yaitu Wakatobi dan Koltim saat head to head, terkecuali Konut Bupatinya yang menang melalui head to head atas Wakil Bupatinya. Adapun Konsel Wakil Bupati bukan calon Bupati tetapi telah pecah kongsi dengan Bupatinya dan menjadi tim pemenang bagi lawan Bupati/petahana. Motive terjadinya pecah kongsi atau gagal harmoni kepala daerah dan wakilnya adalah refleksi dari kegagalan konstitusi Pemilu dan partai politik.

Gagal harmoni kepala daerah dan wakilnya juga banyak terjadi di level Gubernur di Indonesia. Tontonan kepala daerah yang tidak harmoni dengan wakilnya menjadi blunder untuk menggerakan mesin birokrasi secara optimal, serta menjadi cerita buruk dimata publik karena mempertontonkan tipe pemerintahan dengan praktek Toxic relationship sebagai kepala daerah. Ke empat, sudah menjadi cerita klasik di kalangan birokrasi bahwa paskah pilkada adalah momen menunggu terjadinya badai mutasi dengan efek sunami penggelontoran praktek mutilasi karier atau sebaliknya tiba-tiba karier melompat bagaikan meteor. Dapat dikatakan konstitusi telah gagal mendesain pilkada yang tidak melibatkan jajaran birokrasi atau ASN. Karena faktanya ASN adalah tim siluman yang diandalkan oleh terutama petahana, sehingga ASN dalam posisi berjudi atau gambling dalam bersikap disetiap momen pilkada yang juntrungannya adalah jabatan atau posisi yang akan datang.

Apapun hasilnya pilkada 9/12 telah usai menyisakan pertanyaan genit publik untuk pilkada Gubernur paska Ali Mazi nanti, apakah Bupati terpilih masih berenergi melanjutkan tarung politik untuk posisi Gubernur Sultra nanti ? Saat ini yang terpenting bagi masyarakat cerdas adalah apakah Kepala Daerah yang terpilih akan melaksanakan amanah dengan cerdas berdasarkan janji politik melalui kampanyenya ? Apakah kepala daerah tsb betul-betul akan jadi kepala daerah yang dikepalanya masih mengingat bahwa masih banyak masyarakatnya yang hidup dibawah garis kemiskinan, tingkat pendidikan yang masih rendah, infrastruktur buruk, lingkungannya hidup yang mengerikan. SDA terkuras SDM tertinggal jauh dari daerah lain inilah cermin tantangan kedepan sebagai kepala daerah. Lagu lama yang masih terngiang adalah…janjimu kunantikan. ***

  • Bagikan