Rupiah Melemah, Dinar Solusinya!

  • Bagikan
Risnawati, STP.

Nilai tukar rupiah bergerak melemah dengan depresiasi yang cukup tajam terhadap dollar. Pelemahan tersebut juga dialami oleh beberapa mata uang Asia, seperti dilansir dalam Jakarta, CNN Indonesia — Nilai tukar rupiah  bergerak melemah pada perdagangan pagi ini kembali ke level Rp14.500 per dolar AS, usai dibuka di posisi Rp14.496 per dolar AS. Hingga pukul 09.20 WIB, rupiah berada di posisi Rp14.509 per dolar AS. Posisi ini melemah 28 poin dibanding penutupan kemarin, Kamis (2/8) di posisi Rp14.478 per dolar AS.

Sejalan dengan rupiah, mayoritas mata uang di kawasan Asia turut melemah dishadapan dolar AS. Won Korea Selatan melemah 0,2 persen, ringgit Malaysia minus 0,13 persen, baht Thailand minus 0,07 persen, peso Filipina minus 0,06 persen, dan yen Jepang minus 0,04 persen. Namun, dolar Hong Kong dan dolar Singapura berhasil menguat dari dolar AS, masing-masing 0,01 persen. Sebaliknya, pada mata uang negara maju, mayoritas justru menguat dari dolar AS. Euro Eropa minus 0,03 persen, rubel Rusia minus 0,03 persen, dolar Kanada minus 0,07 persen, dan dolar Australia minus 0,1 persen. Hanya franc Swiss dan poundsterling Inggris yang melemah, masing-masing 0,03 persen dan 0,01 persen.

 

Efek Imprealisme Moneter

Dalam perspektif global, sistem mata uang kertas inconvertible merupakan wujud imperialisme moneter. Sebab nilai tukar antar negara tidak sama, bahkan mengalami perbedaan yang sangat tajam. Dengan perbedaan ini -walaupun fisiknya tidak berbeda- sebuah negara yang mata uangnya mendominasi transaksi global dapat menjajah dunia.

Adapun akar masalah atas pelemahan rupiah tersebut adalah Pertama, Indonesia tidak memiliki visi untuk menjadi Negara industri yang tangguh. Bahkan perhatian utama Pemerintah adalah sekedar mendorong surplus perdagangan dengan berupaya meningkatkan ekspor dan mengurangi impor tanpa melihat kualitas barang yang diperdangkan. Sebagian besar ekspor unggulan Indonesia  terbatas pada komoditas SDA seperti migas, mineral dan minyak sawit  ataupun industri konsumsi seperti tekstil. Di sisi lain, Indonesia amat bergantung pada barang-barang modal yang padat teknologi dan modal. Bahkan akibat gencarnya Pemerintah melakukan liberalisasi perdagangan, Indonesia menjadi pasar yang empuk bagi negara-negara lain termasuk pada barang-barang konsumsi seperti pangan. Akibatnya, devisa yang dikeluarkan untuk memproduksi barang-barang tersebut menjadi sangat besar.

Kedua, kebijakan moneter untuk untuk menstabilkan rupiah dengan menaikkan suku bunga justru semakin membebani perekonomian dan hanya menguntungkan para pemilik modal. Ini karena pembiayaan kegiatan ekonomi skala besar-menengah di negara ini sebagian besar sumber bersumber dari perbankan ribawi. Dengan menaikkan BI rate, suku bunga kredit juga akan ikut terkerek naik sehingga beban pinjaman kreditor meningkat. Bahkan tidak sedikit dari mereka terpaksa merelakan asetnya, karena tak lagi sanggup membayar cicilan utangnya.  Di sisi lain, deposan yang memiliki dana melimpah lebih memilih untuk menyimpan dana mereka di perbankan ketimbang berinvestasi di sector riil. Bahkan perbankan yang mengelola dana-dana tersebut, selain menggelontorkan likuiditas mereka di sektor riil juga diberi keleluasaan untuk berinvestasi di sektor finansial seperti SUN dan SBI yang bunganya dibiayai oleh Pemerintah.

Ketiga, eksistensi pasar modal yang ditopang oleh liberalisasi sector financial membuat aliran dana investasi yang sebagian bersifat spekulatif dengan mudah masuk dan keluar tanpa rintangan berarti. Jika  para investor melihat kondisi dan prospek investasi di negara ini menguntungkan maka dengan mudah mereka masuk sehingga nilai tukar menguat dan bursa saham ‘menghijau’ dan demikian pula sebaliknya. Bahkan untuk menarik keuntungan, mereka dapat menggiring situasi di pasar modal khususnya di negara-negara berkembang. Bahkan di negara maju sekalipun, berbagai trik dilancarkan untuk meraup untung besar.

Keempatmata uang Rupiah termasuk dollar adalah mata uang kertas yang tidak dijamin oleh komoditas yang bernilai (fiat money). Dengan demikian, mata uang ini dengan mudah dapat diproduksi oleh otoritas moneter suatu negara. Inilah yang dilakukan oleh The Fed, bank sentral AS untuk menyelamatkan ekonomi negara terbesar di dunia tersebut dari keruntuhan akibat krisis tahun 2008. Besarnya kendali AS atas pasokan dolar membuat inflasi menjadi tak terkendali dan telah menyebabkan mata uang negara-negara lain khususnya di negara-negara berkembang yang bergantung pada dollar dan menjadi tidak stabil.

Kembali Kepada Islam

Krisis nilai tukar Rupiah sebagaimana halnya mata uang lain di dunia, telah menjadi pemandangan biasa dalam sistem keuangan saat ini. Meskipun terbukti banyak dikeluhkan dan merugikan, namun sistem ini tetap dipertahankan. Padahal, masalah tersebut tentu saja tidak perlu terjadi jika perekonomian negara ini dan juga negara-negara lainnya menanggalkan sistem Kapitalisme dan beralih pada sistem Islam di bawah naungan negara Khilafah Islam. Hal ini karena, riba, legalisasi Perseroan Terbatas dan turunannya seperti saham dan pasar modal serta mata uang kertas tanpa jaminan komoditas berharga seperti emas dan perak tidak akan ditemukan dalam sistem tersebut. Selain itu, negara berkewajiban untuk menjadi negara industri yang kuat agar tidak dapat dikuasai dan didikte oleh negara lain atau otoritas lainnya.

Adapun riba yang merupakan biang bencana dalam sistem ekonomi kapitalis dan sistem  lainnya telah diharamkan oleh Islam secara mutlak, berapa pun persentasenya dan apapun istilahnya. Harta yang diperoleh dari riba adalah harta yang haram untuk dimanfaatkan. Allah SWT bahkan mengumumkan perang terhadap para pemakan riba. Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian (memang) orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak   mengerjakan (meninggalkan   sisa   riba)   maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba) maka   bagi   kalian   pokok   harta   kalian.   Kalian   tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS. Al Baqarah : 278-279).

Adapun mengenai   sistem   uang   kertas  (fiat money) yang tidak dijamin oleh emas dan perak, juga tidak akan ditemui dalam sistem Islam. Pasalnya, Rasulullah SAW telah membenarkan umatnya bermuamalah dengan  dinar  dan  dirham –yakni  standar  logam  mulia–dan menetapkannya sebagai satu-satunya standar uang yang dipakai untuk menilai harga barang dan jasa. Bahkan standar emas dan perak merupakan standar mata uang dunia hingga sebelum pecah Perang Dunia I. Setelah itu, standar emas dan perak kembali diberlakukan secara parsial. Kemudian pada tanggal 15 Juli 1971, AS sistem Bretton Woods yang menetapkan bahwa dolar harus ditopang dengan jaminan emas dan mempunyai harga yang tetap. Setelah itu, dolar dan mata uang lainnya tidak lagi dijamin oleh emas dan perak sehingga tidak memiliki kekautan intrinsik. Legitimasi mata uang tersebut sepenuhnya bersandar pada undang-undang belaka.

Walhasil, kita membutuhkan mata uang yang nilainya stabil dan universal. Mata uang dinar merupakan mata uang yang aman untuk dimiliki. Mata uang dinar pernah diterapkan pada masa Rasulullah dan Khilafah. Karena itu dinar merupakan solusi atas permasalahan mata uang dan untuk menerapkannya kita harus memiliki sistem yang kuat yakni sistem Khilafah. Dengan cara ini pula kita bisa melepaskan diri dari penjajahan moneter. Insya Allah. Wallahu a’lam bishawab

 

Oleh : Risnawati, STP (Staff Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kolaka)

  • Bagikan