Karakter Politisi Sultra Versi Cak Lontong

  • Bagikan

Oleh: Nasir Andi Baso (Dosen Unsultra dan Pengamat Kebijakan Publik dan Politik)

KURSI empuk gubernur, bupati atau wali kota dan presiden memang bisa menjadi candu politik yang memabukkan.  Ini dapat terlihat menjelang tahun politik 2024, dimana gerakan dan manuver politik semakin dinamis memanfaatkan momentum tersebut. Misalnya, semakin banyak angpao yang beredar, baik itu karena kemahiran masing-masing tim pemenangan mengajukan proposal kegiatan atau karena syahwat politik yang semakin memicu adrenalin seseorang atau sekumpulan orang demi meraih kekuasaan.

Potensi kegaduhan serta  polemik yang bersifat dialektika akan menjadi subur dan mendewasakan nalar politik dalam demokrasi bagi sebagian orang, karena ada yang mengatakan perbedaaan dalam pilihan berpolitik adalah drama menarik yang harusnya bisa mendewasakan akal sehat, nalar sehat, ambisi sehat, serta syukur-syukur menjadi syahwat politik sehat.

Tetapi penulis dikejutkan dengan kiriman berita dari sosial media tentang adanya laporan seorang tokoh domisili Jakarta yang melaporkan seorang tokoh politik karena suara rekamannya yang menghimbau tentang isu putra daerah serta ancaman eksploitasi SDA Sultra.

Penulis sempat bolak-balik mencari sumber informasi tersebut serta menduga-duga motive dan latar belakangnya.

Penulis ingat dagelan seorang pelawak intelek Cak Lontong, yang mengatakan politisi itu tipenya ada 3 jenis yaitu; Politisi Unyil, yaitu politisi yang kanak-kanak dan sulit untuk dewasa. Sosok Unyil adalah contoh sosok dari dulu sampai sekarang tetap saja kanak-kanak, sukanya hanya bermain dan tidak suka perubahan atau play back.

Kemudian politisi Pak Raden, ini cermin dari sosok politisi feodalis, pengennya dihormati, disegani dan suka mementingkan diri sendiri dan terjebak romantisme masa lalu. Cak lontong menyebut karakter flash back.

Politisi yang agak berbahaya katanya adalah karakter politisi Pak Ogah. Karakter pak Ogah adalah tipe pragmatis, semuanya dihitung dengan pendekatan duit. Semua peluang bisa dimanfaatkan asal ada cuannya alias pulus, oleh Cak Lontong disebut politisi dengan karakter cash back.

Kalo ada politisi dengan tanpa sadar mengadopsi 3 karakter tersebut, harusnya belajar berdemokrasi dengan dewasa dan terbuka seperti tokoh-tokoh nasional yang tidak mudah tersinggung, tidak mudah memilih untuk membungkam lawan politiknya dengan melaporkan seseorang.

Sosok Jokowi, sosok Anis Baswedan, sosok Panglima TNI yang 4 bintang dan banyak tokoh-tokoh lainnya begitu dewasa dan tidak terjebak gaya politik pak Raden atau karakter politik masa lalu.

Belajar berbeda pilihan politik memang membutuhkan waktu dan proses, dibutuhkan kesiapan dan kematangan pisikologis pribadi. Membiasakan diri dalam dialektika demokrasi membutuhkan latihan serta kematangan mental politisi tangguh dan petarung, serta berani melawan arogansi diri sendiri.

Semua kritisi, semua cercaan dan bahkan tantangan pun dianggap sebagai teman berpikir dengan akal sehat, bukan diancam dengan pembungkaman karena perbedaan diksi. Perbedaan diksi harusnya memperkaya pemahaman sehingga ada pembanding diksi yang lebih baik.

Tapi itu juga semakin menyadarkan kita bahwa Sultra memang kaya, sejarah sudah membuktikan itu. Sehingga ada yg mengatakan heterogenitas penduduk di Sultra ibarat miniatur Indonesia. Daya tarik SDA adalah ibarat semut yang mencari gula, faktualistas ini bagi penulis adalah sumber daya yang harus direkatkan dengan pendekatan kearifan lokal yang pas khas.

Masyarakat asli Sultra adalah masyarakat yang relatif terbuka dalam persaudaraan dengan siapa saja, sehingga itu yang memicu tumbuhnya perekonomian dalam arti luas.

Tetapi dalam hal berdemokrasi masyarakat Sultra semakin dewasa dan menyadari posisi tawarnya untuk memikirkan dan mengelola dan memilih nakhoda masing-masing daerahnya. Nasarasi tentang politik dengan keberpihakan pada SDM Sultra semakin dewasa menjadi konsumsi sehari-hari pada berbagai elemen dan moment penting. ***

  • Bagikan