Politik Uang dan Akuntabilitas Dana Kampanye

  • Bagikan
Ketua Umum Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Muna, Kubais, S.Pd.,M.Pd.

SULTRAKINI.COM: Pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2018 secara garis besar terbagi dalam enam tahapan, yaitu verifikasi pasangan calon (paslon) perseorangan, pendaftaran, kampanye, pemungutan suara, rekapitulasi, dan penetapan paslon pemenang. Tanpa mengabaikan tahapan lainnya, kampanye merupakan salah satu tahapan yang membutuhkan pengawasan serius dari berbagai pihak, mulai dari penyelenggara Pemilu, pemerintah dan masyarakat luas, demi mewujudkan Pemilukada yang berintegritas.

Hal ini memiliki alasan, dimana dalam momentum kampanye praktek pelanggaran seringkali terjadi, seperti mobilisasi PNS, penggunaan fasilitas umum/Negara, intimidasi dan politik uang.

Pelanggaran berupa mobilisasi PNS dapat dicegah, jika saja Komisi Aparatur Sipil Negara melakukan pengawasan dan penindakan secara tegas kepada para pelakunya. Konsistensi komisi ASN ini secara perlahan akan mengarahkan birokrasi pada konsep yang netral, seperti cita-cita Webber. Bukan sebagai birokrasi yang politis, sebagaimana yang disinggung oleh Karl Marx bahwa birokrasi adalah alat kekuasaan dan tidak bersifat netral. Andai saja birokrasi saat Pemilukada bersifat netral, maka tentu ruang untuk menyalahgunakan fasilitas publik atau Negara dapat diminimalisir dan tidak terjadi lagi.  Demikian halnya intimidasi dapat dicegah, jika Polri bekerja secara profesional. Namun demikian, pelanggaran yang paling sulit dicegah dalam sejarah Pilkada dan Pemilu era reformasi di Indonesia adalah penggunaan politik uang. 

Praktek Politik Uang

Diskursus tentang politik uang telah menjadi perhatian para ilmuwan politik dan aktivis dalam mengevaluasi penyelenggaraan Pemilu di Indonesia pasca reformasi. ICW menyebut politik uang sebagai bagian dari korupsi pemilu (2010). Jeffrey Winters (2011) menyebut politik yang mengandalkan kekayaan (uang) untuk meraih kekuasaan merupakan praktek demokrasi kriminal. Hadiz (2005) menyebut kelompok yang menggunakan uang sebagai salah satu sumber kekuasaan sebagai kaum oligraki predatoris. Sementara itu, dari perspektif aqidah, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah melalui ketua umumnya Dahnil Anzar Simanjuntak menyebut bahwa jabatan hasil dari politik uang adalah haram.

Aspinall dan Sukmajati (2015) mengklasifikasikan lima model politik uang yang ada di Indonesia, meliputi: 1. pembelian suara (vote buying) yaitu pemberian uang tunai/barang kepada pemilih. 2. individual gifts yaitu pemberian barang-barang kepada pemilih, seperti pemberian kalender atau gantungan kunci dan sembako. 3. services and activities yaitu upaya kandidat yang menyediakan atau membiayai beragam aktifitas dan pelayanan untuk pemilih, seperti pelayanan kesehatan gratis dan turnamen olahraga. 4. club goods yaitu pemberian keuntungan kepada pemilih yang mentarget kelompok-kelompok sosial tertentu, seperti pemberian sumbangan dan fasilitas kepada kelompok keagamaan, club olahraga, asosiasi pemuda, kelompok wanita dan koperasi petani. 5. proyek gentong babi (pork barrel politics) yaitu proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk wilayah geografis tertentu.

Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi tentang praktek politik uang dalam Pilkada tercatat hanya ada 7 daerah-Konawe Selatan, Sintang, Gresik, Mandailing Natal, Kotawaringin Barat, Tanjungbalai, Sumbawa—dinyatakan terbukti menggunakan politik uang (Perludem, 2011). Pada Pilkada serentak Tahun 2017, aduan praktek politik uang semakin berkurang yaitu hanya 6 daerah—Kota Batu, Kabupaten Bireueun, Kota Payakumbuh, Kab. Tebo, Kab. Banggai Kepulauan, Kab. Pati—yang mengadukan dugaan politik uang. Dari 6 daerah tersebut, tak ada satupun putusan MK yang membuktikan adanya politik uang. Penurunan putusan MK tentang praktek politik uang tersebut, bukan berarti tidak pernah lagi ada praktek haram tersebut terjadi. Sebaliknya politik uang kian meluas dihampir setiap Pilkada diselenggarakan. Pada Pilkada serentak tahun 2017 Bawaslu menemukan adanya 600 kasus politik uang.

Ketidakselarsan antara putusan MK dan temuan Bawaslu tersebut menujukkan bahwa praktek politik uang kian sulit diungkap, jika tidak didukung dengan bukti-bukti yang sahih dan meyakinkan.

Masalah politik uang tampaknya kembali akan terus mewarnai kancah perpolitikan di Sulawesi Tenggara pada penyelenggaraan Pemilukada tahun 2018. Indikasi itu di antaranya tampak pada laporan yang masuk pada Bawaslu Sultra tentang adanya pasangan bakal calon yang kerap membagikan uang dan barang saat kegiatan sosialisasi dilakukan. Peristiwa tersebut mengingatkan akan modus yang sama dengan penyelenggaraan Pemilukada serentak tahun 2017 yang berlangsung di Sulawesi Tenggara. Saat itu, Bawaslu menerima banyak laporan tentang praktek politik uang. Publik pun dipertontonkan dengan nyata bagaimana uang didistribusikan untuk mempengaruhi pemilih.

Berbagai modus politik uang menyelinap, mulai dari pemberian uang tunai, pembagian beras, minyak goreng, sumbangan rumah ibadah hingga politisasi proyek infrastruktur, tersaji secara ‘kasar’ maupun ‘rapi’ menjelang Pemilukada.  Sayangnya praktek tersebut banyak tidak terungkap, dan kalaupun terungkap hanya berakhir pada tim sukses, tanpa menyentuh pemegang “lumbung uang’. Lalu bagaimana mencegah atau minimal mengurangi praktek politik uang agar tidak terjadi dalam setiap Pemilukada? 

Pentingnya Akuntabiltas

Praktek dan cara kerja politik uang dalam Pemilukada, jika dianalogikan seperti sungai yang dialiri air, ketika air yang berasal dari hulu berwarna coklat maka hilirnya pun demikian, jika hulu sungai tercemar oleh racun, maka pastilah sampai kehilirnya dan tentu akan sulit untuk menetralisirnya kembali, kecuali membenahi hulunya. Hulu dari praktek politik uang terjadi dalam Pemilukada adalah sumber-sumber pendanaan kampanye yang tidak dilaporkan secara akuntabel.

Jika mengevaluasi Pilkada serentak 2015 dan 2017 di Sulawesi Tenggara, tampak  pelaporan dana kampanye hanya merupakan formalitas semata. Jika adanya laporan dana kampanye yang tidak wajar, maka proses penelusuran tidak dilakukan. Para peserta Pilkada pun ketika melaporkan sumber dana kampanye tidak secara detail mencantumkan sumber dana, sehingga praktis  ublic tidak mampu mengontrol asal usul dana kampanye, terlebih lagi jika dihadapkan pada rendahnya akuntabilitas lembaga penyelenggara dalam mengumumkan sumber dana kampanye. Tidak jarang penyelenggara Pemilu menutup informasi tentang sumber dana kampanye dengan alasan ‘kerahasiaan’. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip good governance dan UU keterbukaan informasi publik. 

Upaya untuk mewujudkan akuntablitas dana kampanye pada Pilkada 2018 kian membaik dengan diterbitkannya PKPU No. 5 Tahun 2017 tentang Dana Kampanye. Aturan ini mewajibkan bagi setiap peserta Pilkada melaporkan sumber dana kampanye dan bagi mereka yang melanggar akan mendapatkan sanksi terberat hingga pembatalan sebagai peserta Pilkada. PKPU ini juga akan mengurangi terjadinya penyusunan pelaporan dana kampanye yang ‘abal-abal’ dikarenakan adanya proses audit dana kampanye oleh akuntan publik yang ditetapkan oleh KPU. 

Dengan diterbitkannya PKPU tersebut, maka harapan untuk mewujudkan pemilukada berintegritas akan semakin mudah diwujudkan. Namun yang perlu menjadi catatan bahwa komitmen akuntabilitas tidak hanya menuntun para peserta Pemilukada, namun juga menjadi kewajiban penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) untuk bertindak sesuai dengan aturan perundang-undangan. Pelaporan dana kampanye adalah kewajiban yang diamanahkan oleh Undang-Undang dan PKPU. Oleh karena itu, penyelenggara Pemilu harus bersikap pro aktif dalam menegakkan aturan tersebut dan tidak melibatkan diri sebagai bagian dari ‘tim sukses Paslon Pilkada’!.

Oleh: Ketua Umum Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Muna, Kubais, S.Pd.,M.Pd.

Alamat: jalan Bunga matahari, RT 001 RW 001

Kontak: 08114038303

Emali: [email protected]

  • Bagikan