Tanah-tanahnya Diserobot, Masyarakat Desa Mapila Bombana Mencari Keadilan

  • Bagikan
Aliansi Masyarakat Mapila bersama Lingkar Kajian Marhaenis menggelar unjuk rasa di kantor ATR-BPN Bombana. (Foto: Hasrul Tamrin/SULTRAKINI.COM)
Aliansi Masyarakat Mapila bersama Lingkar Kajian Marhaenis menggelar unjuk rasa di kantor ATR-BPN Bombana. (Foto: Hasrul Tamrin/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: BOMBANA – Sejumlah warga dari Desa Mapila, Kecamatan Kabaena Utara, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Mapila bersama Lingkar Kajian Marhaenis menggelar unjuk rasa di kantor ATR-BPN Bombana dan kantor DPRD pada Senin, 8 Agustus 2022.

Aksi ini dilakukan untuk meminta keadilan pemerintah Kabupaten Bombana dalam hal ini ATR-BPN, DPRD, dan pemerintah lain yang terkait, karena tanah-tanah mereka diserobot oleh salah satu perusahaan yang bergerak pada sektor pertambangan, dijual oleh oknum tertentu kepada perusahaan.

Warga menyebutkan perusahaan itu adalah PT Bukit Makmur Resources (BMR) yang beroperasi di Kecamatan Kabaena Utara atau Pulau Kabaena, merupakan perusahaan yang fokus pada pengolahan bijih nikel.

Tanah yang dimiliki sejak ratusan tahun lamanya dari nenek moyang leluhur mereka berdasarkan bukti-bukti fisik tanaman, saksi hidup, dan history atau sejarah pengolahan lahan, tiba-tiba langsung diserobot oleh pihak lain bermodalkan surat keterangan tanah (SKT).

Leo Kusuma Arsyad, perwakilan keluarga warga yang menjadi korban penyerobotan lahan, menceritakan bahwa lahan yang mereka miliki selama ini adalah tanah warisan dari leluhur yang sudah turun temurun.

“Tanah dan lahan itu dimiliki oleh leluhur kami sejak tahun 1900-an. Selanjutnya, berdasarkan kesepakatan bersama tokoh-tokoh masyarakat dari Tedubara pada 27 April 1965, tanah dari Almarhum Tinggala dihibahkan kepada keluarga-keluarga dan sanak familinya yang serumpun, saat ini yang memiliki tanah dan lahan itu,” ungkapnya, Senin (8 Agustus 2022).

Namun setahun sejak masuknya perusahaan, lanjut dia, banyak yang mengaku-ngaku dari rumpun warga tertentu mengklaim bahwa tanah-tanah itu merupakan milik mereka dengan bermodalkan surat keterangan tanah (SKT) yang diterbitkan oleh pemerintah desa setempat.

“Jadi inti dari persoalan ini adalah masyarakat yang memiliki lahan diserobot oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, adalah kepala desa dan aparatnya selaku juga dari tokoh-tokoh masyarakat, yaitu yang dapat dikatakan sebagai rumpun. Makanya yang memiliki lahan merasa keberatan,” katanya.

Anehnya lagi, tiba-tiba tanah mereka sudah diperjual belikan kepada perusahaan oleh oknum yang mengaku-ngaku sebagai pemilik lahan. Olehnya itu, mereka meminta dan menuntut ganti rugi atas kepemilikan tanah dan lahan itu.

“Kalau begini dimana keadilannya. Dasar mereka (warga) memiliki lahan itu adalah bukti fisik, seperti ada tanaman jambu, jati, dll, history sejarah, dan juga saksi hidup ada,” jelas Leo Kusuma.

Dia juga bilang, bahwa selama ini warga pemilik lahan sesungguhnya telah berupaya dan meminta untuk dibuatkan SKT dari desa, tapi tidak pernah ditanggapi secara positif, justru pihak lain yang mendapat persetujuan. Sebaliknya juga ada oknum tokoh-tokoh masyarakat mengintimidasi memberikan pembodohan kepada masyarakat.

“Melihat permasalahan ini dari pemerintah desa seharusnya bisa netralitas, karena banyak dari pihak kami ini masyarakat meminta SKT malah tidak ditanggapi, justru masyarakat lain yang diterbitkan SKT. Ini ada apa, ? Dimana keadilannya,” tegasnya.

Untuk itu, masyarakat yang menjadi korban penyerobotan mengharapkan dukungan dan keadilan dari pemerintah, baik dari pemerintah kabupaten, BPN, DPRD Bombana, hingga pemerintah desa bisa menyikapi persoalan ini dengan bijaksana, karena secara administrasi mereka tidak memiliki bukti fisik.

“Makanya hari ini kami menuntut keadilannya. istilahnya kalau ada perusahaan menyerobot, ya berarti ada ganti rugi, maka hari ini meminta keabsahan dari pertanahan, karena mereka tidak memiliki bukti fisik,” tuturnya ditemui saat berunjuk rasa di DPRD Bombana.

Senada, Lingkar Kajian Marhaenis sekaligus Koordinasi Aksi, Umar Maskun, mengatakan bahwa lahan yang didiami oleh beberapa warga Desa Mapila secara turun-temurun selama ini berdasarkan bukti-bukti history, sejarah, dan bukti-bukti tanaman tidak pernah diperjual – belikan kepada siapapun, akan tetapi tiba-tiba ada perusahaan yang menyerobot.

Untuk itu, mereka meminta kepada pihak ATR-BPN Bombana untuk turun melakukan investigasi atau memberikan bantuan-bantuan lain sesuai kewenangannya, dan DPRD untuk melakukan kewenangannya untuk membantu masyarakat disana.

“Makanya kenapa kami bertandang di BPN Bombana ini karena biar bagaimanapun masalah ini juga merupakan tugas dari mereka,”  ucapnya.

Dia menyebutkan, ditaksir lahan yang bermasalah itu ada sekitar 153 hektar. Lahan itu telah dimiliki beberapa warga Mapila secara turun-temurun, tapi kini bukti-bukti fisik sudah tidak ada karena diolah oleh perusahaan. Sehingga mereka menuntut tanggung jawab ataupun ganti rugi.

Sementara itu, Kepala ATR-BPN Bombana, Tageli Lase, menanggapi pernyataan AMM-LMK, menuturkan bahwa sampai hari ini BPN baru sebatas mendengar informasi melalui beberapa media terkait pembebasan lahan oleh PT BMR , namun belum menerima secara resmi laporan status lahan itu maupun pengajuan sertifikat tanah.

“Kami dengar bahwa pembebasan lahan tersebut sudah dibayarkan oleh pihak perusahan BMR, tetapi ada juga pihak lain yang mengaku bahwa lahan itu miliknya. Terkait permasalahan itu pihak BPN bingung juga karena tidak ada kewenangan kami,” terang  Tageli.

“Tetapi bila masyarakat ingin dimediasi kami siap membantu, tetapi itupun kalau kedua belah pihak mau dimediasi. Sebab kewenangan kami itu kecuali lahan yang sudah mempunyai hak, atau lahan yang mau di sertifikatkan,” tambah Tegeli.

Ditempat terpisah, Ketua DPRD Kabupaten Bombana, Arsyad, mengaku akan menindaklanjuti apa menjadi permasalahan di Desa Mapila dan apa yang menjadi tuntutan masyarakat.

“Secara resmi kita sudah terima aspirasi itu bahwa memang diduga ada konflik sengketa lahan yang dilakukan perusahaan terhadap masyarakat. Jadi kita akan memfasilitasi pertemuan itu. Kita akan mengagendakan hari Senin kita akan memanggil (RDP) semua yang terkait persoalan itu, baik kepala desa, camat sampai perusahaan,” terangnya.

Arsyad tidak menampik, bahwa dirinya sejauh ini terus memantau pembangunan smelter di Mapila dan menganggap sudah tidak ada masalah terkait pembebasan lahan milik masyarakat.

“Kami juga tidak menyangka ada persoalan begini. Makanya yang saya pahami selama ini normal-normal saja. Saya juga sudah disampaikan secara lisan teman-teman dapil sana bahwa semua perlakuan sudah dilaksanakan perusahaan. Hari ini ada masyarakat atau kelompok masyarakat dikorbankan, makanya itu yang harus kita dalami,” cetus politisi Nasdem tersebut.

Sementara itu, Manager Site PT BMR, Patrick Pasassung, saat dikonfirmasi belum memberikan komentar terkait permasalahan itu dan memilih diam. Namun ia bersiap menghadiri panggilan pihak DPRD Bombana.

“Nanti di DPR saja kami hadir. Kami diam saja dulu. Karena ada yang mediasi kami no coment. nanti ketemunya di pemerintah,” singkat Patrick, Selasa (9 Agustus 2022).

Sampai berita ini diterbitkan, pihak pemerintah desa belum dapat dikonfirmasi tentang keabsahan SKT. Namun redaksi masih membuka ruang untuk mengkonfirmasi pihak-pihak terkait dan terduga.

Laporan: Hasrul Tamrin

  • Bagikan