Masyarakat Miskin Makin Minim?

  • Bagikan
Oleh Fitri Suryani, S.Pd (Guru SMA Negeri di Kabupaten Konawe).Foto:ist

Senangnya ketika ada pemberitaan tentang menurunya angka kemiskinan di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Namun sayangnya ada berita yang begitu miris diketemukan di suatu daerah, yang mesti meregang nyawa hanya karena persoalan pangan. Lantas apa sebenarnya yang terjadi?

Seperti yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik mencatat angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2018 mengalami penurunan sebesar 9,82 persen menjadi 25,95 juta orang. Angka tersebut turun 633,2 ribu orang dibandingkan September 2017 yang mencapai 26,58 juta orang. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengungkapkan, penurunan angka kemiskinan yang mencapai single digit tersebut terjadi untuk pertama kalinya di Indonesia. Sebab, lanjut dia, meski jumlah persentase penduduk miskin mengalami naik-turun sejak dicatat pada 1999, baru di tahun ini yang menyentuh angka penurunan 9,82 persen (viva.co.id, 16/07/2018).

Namun sangat miris ketika pemberitaan lain menyatakan tentang wilayah yang masih kesulitan untuk memenuhi masalah kebutuhan pangan mereka. Sebagaimana diberitakan tiga warga meninggal dunia akibat terjadinya kejadian luar biasa bencana kelaparan melanda wilayah pedalaman Pulau Seram, Maluku tepatnya di kaki Gunung Murkele Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. BPBD Maluku Tengah menyebutkan, kelaparan terjadi akibat kekurangan bahan makanan. Ada sekitar 170 jiwa  warga yang menderita kelaparan (viva.co.id, 24/07/2018).

Selain itu, di wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di Kabupaten Konawe kondisi Adelia, bayi yang lahir di Desa Barowila, Kecamatan Tongauna, Kabupaten Konawe ini sangat memprihatinkan. Tubuhnya kurus kering lantaran tak mendapat asupan gizi yang memadai atau gizi buruk. Adelia baru berusia 5 bulan. Namun pertumbuhannya tidak senormal bayi seusianya. Adelia hanya memiliki berat badan 2 kg. Padahal bayi seusia dia, seharusnya memiliki berat ideal 5,5 sampai 6,5 kg (sultrakini.com, 28/07/2018).

Kalau sudah seperti itu siapa sebenarnya yang mesti bertanggung jawab?

 

Menilik Soal Warga Miskin

Jika menengok warga miskin di negeri ini tentu tidak bisa dikatakan sedikit, namun tidak bisa dipungkiri pula bahwasanya warga miskin juga memiliki hak untuk hidup yang layak. Sebagaimana jika kita mengacu pada pasal 34 ayat 1 UUD 1945, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”

Tentu dari bunyi pasal 34 ayat 1 ini mengandung makna, bahwa seluruh warga negara Indonesia yang termasuk dalam kategori fakir dan miskin serta anak terlantar sudah semestinya dibantu oleh negara. Dengan kata lain bahwa mereka tidak boleh dibiarkan saja, tetapi pemerintah harus membuat suatu program yang dapat membantu warganya yang fakir dan miskin dan anak terlantar untuk bisa terus hidup dan mempunyai usaha serta pendapatan yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Sehingga diharapkan jika telah dapat mandiri dan mencukupi kebutuhannya tidak ada lagi warga yang fakir dan miskin serta anak terlantar di negeri tercinta ini.

Selain itu pula, apabila kita merujuk pada bunyi pasal tersebut, semestinya tidak ada lagi rakyat di negeri ini yang hidup tidak layak, atau berada di bawah garis kemiskinan. Dan, kalaupun masih ada, maka menjadi kewajiban negara melalui pemerintah untuk memelihara dan membuatnya menjadi sejahtera. Terlebih Indonesia merupakan negara yang kaya raya dengan sumber daya alamya yang melimpah dari sabang sampai merauke.

Di samping itu, apakah kemiskinan yang dialami oleh warga negara ini karena salah dari individu tersebut? Tentu tidak sepenuhnya benar, karena dalam hal ini negara pun secara tidak langsung memiliki andil untuk membantu menyejahterakan rakyatnya. Diantaranya dengan membuka lapangan kerja dan apabila tidak memiliki keahlian, maka pemerintah dapat memberikan keterampilan, sehingga kedepannya mampu menghasilakan sesuatu yang dapat menghidupi keluarganya dengan layak.

Olehnya itu, masalah kemiskinan tidak cukup hanya diselesaikan dengan memberi solusi yang tambal sulam, tanpa menyentuh permasalahn pokok yang menimpa negeri ini. Maka dari itu perlu adanya perubahan yang mendasar dalam menyelesaikan masalah kemiskinan tersebut, yakni perubahan yang sistemis, salah satunya dengan mencampakan neoliberalisme, sebagai salah satu varian dari kapitalisme.

 

Kacamata Islam

Dalam Islam, kebutuhan sandang, pangan dan papan merupakan kebutuhan utama dan dalam hal ini negara secara tidak langsung menjaminnya. Diantarnya, memaksimalkan peran ayah selaku kepala rumah tangga agar dapat memenuhi kewajibannya secara maksimal dalam mencari nafkah. Tentunya ini juga tidak lepas dari peran negara dalam menyiapkan lapangan kerja untuk warga negaranya.

Selain itu, jika ayah tak mampu karena sakit atau telah tiada, maka peran menafkahi keluarga dikembalikan kepada walinya. Disamping itu, peran negara juga memiliki andil, karena jika dari pihak wali tak sanggup pula dalam memberi nafkah kepada tanggungannya, maka dalam hal ini negara mempunyai peran dalam membantu mensejahterakan warganya, terutama dalam kebutuhan primer.

Di samping itu pula, jika membaca kisah seorang Khalifah Umar bin Khattab yang telah masyhur. Sebagaimana dikisahkan bahwasanya Umar dan sahabatnya Aslam menjalankan kebiasaanya menyisir kota untuk memastikan tidak ada warganya yang tidur dalam keadaan lapar. Hingga akhirnya, langkah mereka terhenti saat mendengar tangisan anak perempuan yang keras. Khalifah kemudian bertanya siapa yang sedang menangis dan ternyata adalah anak perempuan dari ibu itu. Anak itu menangis karena kelaparan dan seketika Umar dan Aslam tertegun. Beberapa lama kemudian, Umar dan Aslam merasa heran karena sang ibu tidak kunjung selesai memasaknya. Setelah melihat isi panci itu, mereka terkejut karena di dalamnya hanya ada batu-batu dan air. Ibu itu kemudian menjelaskan jika ia memasak batu dan air hanya untuk menghibur anaknya yang kelaparan. Setelah itu, Umar mengajak Aslam untuk kembali ke Madinah dengan meneteskan air mata. Ia mengambil sekarung gandum untuk diberikan pada sang ibu dan mengangkatnya seorang diri.

Dengan demikian, mewujudkan masyarkat yang sejahtera dalam sistem saat ini tidaklah mudah, terlebih jika standar kesejahteraan masih kabur. Olehnya itu, tiada cara yang lebih baik selain kembali pada aturan yang maha baik, yakni aturan-Nya yang diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga rahmatan lil ‘alamin dapat terwujud. WalLahu a’lam bi ash-shawab.

Oleh: Fitri Suryani, S.Pd

(Guru SMA Negeri di Kabupaten Konawe)

  • Bagikan