Personifikasi Demokrasi Kita Zaman Now…

  • Bagikan
La Ode Atri Munanta.

Penulis: La Ode Atri Munanta/Peneliti Independen Suropati Syndicate Jakarta

Belakangan demokrasi kita seperti menampilkan dua sisinya yang saling bertolak belakang, bak seperti terang dan gelap yang diantarai sisi temaram yang bias. 

Keberhasilan dan langkah besar menggeser/menggulingkan rezim diktator dan sektarian nyatanya membuka carkrawala harapan akan kehidupan berbangsa yang lebih baik, pasca kelahiran reformasi.

Reformasi sebagaimana adanya bertumpu pada pilar dan fondasi keterbukaan, partisipasi dan kebebasan itu nyatanya telah mengantar kita pada kehidupan yang lebih dinamis, sekaligus tak lagi terkekang oleh sistem nilai tunggal yang tafsirnya ada pada kendali rezim. 

Demokrasi kita yang juga bersenyawa dengan arus informasi maha cepat, memungkinkan progresifme, daya kritis, dan pencapaian punya standar tersendiri bagi kita untuk menilai keberhasilan suatu pemerintahan, atau akan dengan lancang akan memojokkan pemerintahan dengan sangat terbuka dan telanjang. Ya…demokrasi kita kini memulai babak pertarungan baru, rasionalitas akan terus bergerilya dengan citra semu para pelakonnya. 

Pemilu terbuka sebagaian kandung demokrasi kita nyatanya telah melahirkan pemimpin visioner dan tangguh, berdedikasi, dan secara transparan dapat kita kuliti rekam jejaknya. Tapi toh, dari segenap pencapaian itu kita juga masih punya sisi kelam, saat banyak desas desus, kasus, dan intrik yang menyertainya, dengan rentetan berita yang minor kita saksikan. Tapi kita tak harus lantas menyatakan sistem ini tak juga berhasil mengatasi masalah yang pelik di republik ini. 

Pemilu sebagai proses integral dari demokrasi, paling tidak hingga saat ini berada di secara legal formal diamahkan kepada partai sebagai institusi dan lembaga formal demokrasi yang bertugas sebagai laboratorium, yang diharapkan mampu melahirkan kader pemimpin yang paling tidak punya jejak sejarah gemilang dengan pencapaian dan karya yang nyata, atau jika tidak mampu menghimpun kepercayaan rakyat karena tak punya jejak hitam masa lalu yang kelam. Tapi tentu itu pun tak menghalau kemungkinan kehadiran tokoh lama, yang dengan segala pengalamannya, (*walau dengan pengalaman hitam)… toh juga masyarakat kita begitu murah hati untuk tidak mengorek masa lalu dan lebih menaruh harapan pada masa depan. 

Lantas bagaimana menyikapi demokrasi kita? Mungkin perlu kita melihat bagaimana keberpihakan masyarakat dalam pilihan afiliasi politiknya. Dinamika politik *zaman now, berpusar pada bangunan personafikasi citra, dan penyusunan bangunan identitas baru dengan jargon yang sebenarnya cenderung usang.

Dalam kondisi paling ekstrim, berita hoax, pembentukan image yang hiperbola dan sejenisnya telah memanipulasi kesadaran kritis kita menjadi lebih abstrak dan tak terukur, ujungnya banyak pertentangan, pergolakan politik, dan diskusi yang kontra produktif dari menjamurnya sosial media hingga diskursus wacana yang telah kehilangan marwahnya. Hampir pasti kesadaran demokrasi kita berada diantara ketidaktahuan dan kesadaran imajinatif yang tercipta lewat media dan ilustrasi virtual.

Pada titik ini, masyarakat hanyalah penonton yang tergiring, persis seperti pasar multi level marketing yang mengimingi ke pemilikan kapal pesiar merah dengan sangat instan, atau dengan mengadopsi konsep politik ala Machiavelli yang semua langkah adalah mungkin dan halal dilakukan. Keadaan ini, menunjukkan demokrasi telah ditumpangi oleh kapitalisasi dalam bentuk modal/kapital (aset dan akses) baik secara politik maupun finansial.

Hmm… tapi tentu kita tak harus meratapi itu. sebab sesungguhnya demokrasi memiliki sisi terang yang lain. Demokrasi layaknya seperti sebuah game pertandingan sepak bola, maka kemenangan ada ditangan rakyat. Kemenangan tidak ditentukan pada alegori citra dan kapital semata. Kemenangan ada pada rasinalitas memilih pemain yang tepat, menentukan strategi yang andal, juga tidak adanya keangkuhan untuk mengakali aturan, karena sistem aturan menjadi perangkat paling tinggi untuk menentukan batasan dan lakon pertandingan. 

Selebihnya, adalah berpihak pada akal sehat. Seyogyanya figur pemimpin adalah sebaik-baiknya pribadi diantara ummat/komunitas/rakyat/masyarakat. Kesempatan justru berpihak ditangan rakyat untuk membuat pilihan, memverifikasi tokoh, menganalisis rekam jejak, mengukur kedalaman visi, memahami operasi nalaksi, dan mengukur itikad baik, bukan hanya sekadar nimbung dalam euforia tanpa pijakakan kesadaran yang penuh. 

Mari berpihak pada kewajaran..

  • Bagikan